HARIAN DISWAY - Usia Leandra Nurhadityo masih belia. Namun, eksplorasi tema dalam karya-karyanya cukup luas. Melebihi anak sebaya. Dalam pameran tunggal bertajuk La Sombre, Leandra bicara sosial, diri, dan kegelisahannya. Rambut sebahu, pakaian serba hitam. Seperti tampilannya, Lea, panggilan Leandra, merupakan penyuka musik gahar seperti punk, gothic dan metal. Seleranya pada musik keras mempengaruhi gayanya melukis.
Dalam pameran yang digelar di Galeri DKS mulai 6 Agustus, semua lukisan Lea terlihat suram. Dark. Menyuarakan protes terhadap kondisi sosial, sejarah. Bahkan terhadap dirinya sendiri. Olahan warna dan bentuk yang cukup berani, serta simbol yang ditampilkan tak sekadar sebagai simbol apa adanya. Lea menyuguhkan kebaruan simbol atau tanda layaknya teori semiotika Roland Barthez. Yakni mengolah tanda lama kemudian menyajikannya sebagai tanda baru. Tanda yang benar-benar berbeda dari apa yang dipahami orang selama ini. Tentu itu yang membuat Lea menjadi perupa yang sangat unik. Apalagi usianya belum genap 20 tahun. Bagi Charmanty Sverizkia, kurator La Sombre, Lea memiliki kemampuan visual dan pengolahan tema yang cukup baik. "Secara teknik dia bagus. Visual pun matang. Lea punya banyak tema. Seputar pribadinya terkait pengalaman, kegelisahan, juga banyak hal lain," ujarnya.Sel-portrait in a parking lot. Salah satu lukisan Leandra Nurhadityo yang terlihat suram. Dark. Menyuarakan protes terhadap kondisi sosial, sejarah, dan dirinya sendiri. -Akbar Rijaluddin- Dalam amatan Veve, panggilan Charmanty, di usianya yang masih sangat muda, Lea sedang berada dalam fase eksploratif. "Dia sedang mencoba banyak media. Banyak genre. Tapi itu merupakan proses menuju kematangan kreatifnya," ujar perempuan 21 tahun itu. Segala hal yang berbau gelap, suram, menjadikan pameran tunggalnya itu diberi tajuk La Sombre. Dalam bahasa Prancis berarti terang. Tapi sombre memiliki persinggungan dengan ombre. Berarti bayangan. "Serupa dengan kompleksitas berbayang dari karya-karya Lea yang dipajang," ujar kurator alumni Lille University jurusan Visual Art itu. Guna mendukung suasana, ruang galeri dibuat remang dan sunyi. Sehingga rasa dark atau gothic dalam lukisan-lukisan Lea makin mengena. Lebih merasuk. Di sana, terdapat tiga seri lukisan pertama dari sisi kiri. Fire, Late July 1; Fire, Late July 2; dan Fire, Late July 3. Seri pertama berbicara tentang awal kemunculan api. Seri kedua ketika api mulai membesar dan ketiga, api berkobar dengan dahsyat.
Fire, Late July 2. Salah satu lukisan Leandra Nurhadityo yang terlihat suram. Dark. Menyuarakan protes terhadap kondisi sosial, sejarah, dan dirinya sendiri. -Ahmad Rijaluddin- Lea melukisnya dengan gaya abstrak ekspresionis. Ada garis memanjang tebal-tipis yang berderet, dengan aksen warna putih-abu-abu. Seperti bekas terbakar. Gelegak api dibuatnya seakan spontan, dengan menyisakan marka kuas. Titik-titik putih betebaran, mengingatkan aksen ala Jackson Pollock. Layaknya abu yang betebaran dalam kebakaran hebat. Melihat lukisan itu seperti mendengar musik gothic ala Tristania. Ketika Vibeke Stene bernyanyi lagu Equilibrium dengan vokal berciri misterius. Mengandung gema seperti karakter vokal klasik abad pertengahan. Ditambah dengan musik metal serta gumaman vokal bariton Osten Bergoy. Gumaman Bergoy itu jika ditempatkan dalam volume yang tak tepat, akan sangat mengganggu komposisi. Namun, ketika pola pengaturannya tepat, seperti dalam Equilibrium, maka gumaman itu justru tampak seperti aksen yang menarik. Menyatu dengan komposisinya. Itu jugalah yang dilakukan oleh Lea. Warna gothic dan kesan dark-nya begitu terasa dalam lukisan tiga seri itu. Torehan putih dalam bercak-bercak besar-kecil mengesankan kebakaran hebat dan reruntuhan ranting kering dan abu yang tersisa. Walaupun kesan suram umumnya ditampilkan dalam genre surealisme, namun Lea mewujudkannya melalui abstrak-ekspresionis. Kebakaran hutan dalam lukisan itu, seperti berlatar hutan di Amerika. Tapi sebenarnya, kejadian aslinya terjadi di Indonesia. "Memang kebakaran di Indonesia sepanjang Juli. Ada banyak kejadian, kan. Hanya saja saya menggambarkannya seperti kebakaran hutan di Amerika Serikat. Karena saya sedang bersekolah di sana," ujar Lea. Remaja 17 tahun itu saat ini sedang menempuh pendidikan di Miss Hall's High School, Massachusetts, Amerika Serikat. Itu tentu membuatnya akrab dengan suasana di sana. Begitu pun wawasan seni, filsafat, sastra yang berbasis Barat, begitu melekat di benaknya. BACA JUGA: Toetik Koesbardiati, Profesor Bidang Ilmu Paleoantropologi (12): Sejenis Manusia Langka hingga Perlu Maka, eksplorasi tema-tema yang dilakukan Lea memiliki konteks cukup luas. Seperti seri kebakaran yang tengah diangkatnya. Memadukan antara tragedi di Indonesia, dalam latar Amerika. Di sisi lain, Lea ingin menyampaikan bahwa kebakaran adalah masalah serius yang mendunia. Akibat pemanasan global dan over populasi. Sehingga kebutuhan listrik meningkat, jarak antar pemukiman begitu rapat dan jika tak diwaspadai, akan muncul gangguan-gangguan korsleting. Itu membuat penyebaran api lebih meluas.
Fire, Late July 3. Salah satu lukisan Leandra Nurhadityo yang terlihat suram. Dark. Menyuarakan protes terhadap kondisi sosial, sejarah, dan dirinya sendiri. -Ahmad Rijaluddin- Sama dengan AS yang kelabakan terhadap peristiwa kebakaran hutan yang terjadi beberapa kali. Indonesia pun begitu. Sejak awal tahun hingga Juli, berdasarkan beberapa sumber, terjadi peristiwa kebakaran hutan di berbagai daerah. Selain mengangkat peristiwa-peristiwa, Lea juga menyukai tema-tema yang menantang. Dia bahkan menyoal prostitusi yang terjadi pada era Romawi kuno. Bahkan Lea tanggap soal reinkarnasi. Simbol-simbol suci pun dihadirkan. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha) Indeks: Domba terbujur kaku dalam Reign, baca besok...