HARIAN DISWAY - Pertemuan Prof. Dr. Phil. Toetik Koesbardiati dengan antropologi terjadi tak sengaja. Tapi keputusan itu tepat. Totok -panggilannya- bisa meraih jabatan akademik tertinggi sebagai guru besar di almamaternya sendiri, Universitas Airlangga.
Tak ada seseorang yang mempengaruhi Totok tertarik dengan ilmu antropologi. Kalau pun ada, siapa sih yang tertarik dengannya? Pertanyaan itu mungkin tak salah jika ditanyakan dua dasawarsa lalu. Wajar karena ilmu tersebut tergolong lebih belakangan populer dengan ilmu yang lainnya. Bahkan yang berminat menjalani studi antropologi di perguruan tinggi di Indonesia hanya bisa dilakukan di universitas negeri. Jurusan antropologi pertama yang ada di Indonesia baru berdiri pada 1957 yakni di Universitas Indonesia. Satu-satunya waktu itu. Totok pun semula juga tak tahu apakah antropologi itu saat dia duduk di bangku sekolah menengah lanjutan atas di SMA Negeri 1 Surabaya. Bahkan saat memilih jurusan itu setelah ia lulus pada 1986.Saat lulus dari SMA Negeri 1 Surabaya, Prof. Dr. Phil. Toetik Koesbardiarti (dua dari kiri) sudah yakin memilih jurusan antropologi dengan jalur PMDK. -Toetik K- Sampai suatu hari ada buku -yang tak dia ingat lagi apa judulnya- membawanya tahu untuk pertama kalinya dengan antropologi. ”Warna sampulnya hijau. Ada gambar tameng Suku Dayak. Buku itu bercerita apa itu antropologi meskipun dengan cara yang sangat sederhana. Tapi yang menarik adalah bahwa antropologi itu sangatlah kompleks,” katanya. Setelah membacanya, ada rasa senang dengan antropologi. Apalagi sejak kecil, topik tentang sejarah, kebudayaan klasik, candi, dan sejenisnya sudah menjadi perhatian Totok dibandingkan dengan hal lainnya. Meskipun baru perjumpaan pertama dari buku, tapi Totok yakin untuk menetapkan sebagai jurusan yang akan dia pilih saat berkuliah. ”Padahal baik teman dan guru enggak ada yang paham mengapa aku memilih itu. Tapi anehnya jiwaku seperti sudah bilang dengan yakin bahwa ’inilah tempatku, inilah studi yang ingin kugeluti’ dan itu terbukti sampai sekarang karena enggak pernah ada ilmu lain yang saya minati selain antropologi,” kata Totok yang dikukuhkan sebagai guru besar di bidang ilmu paleoantropologi pada 27 Juli oleh Rektor Unair Prof. Dr. Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., CA. BACA JUGA: Toetik Koesbardiati, Profesor Bidang Ilmu Paleoantropologi (1): Mencatat Dua Rekor Pertama sebagai Guru Besar Beruntung Totok bisa memilih kampus mana yang akan dia tuju dengan memanfaatkan peluang masuk melalui jalur PMDK alias penjaringan minat dan kemampuan. Tak ada lain yang diambil Totok selain program studi antropologi. ”Pada masa itu, calon mahasiswa yang diterima PMDK dianggap sangat keren. Siapa sih yang enggak mau masuk PTN tanpa tes. Aku bersyukur jadi salah seorang itu,” papar Totok. Pada tahun akademik 1986/1987, Totok pun akhirnya diterima sebagai mahasiswa Program Studi (prodi) Antropologi yang berada di bawah pengelolaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Umur prodi itu masih baru setahun. Totok masuk sebagai mahasiswa angkatan kedua. ”Enggak ada tuh aku berpikir yang bagaimana-bagaimana meskipun jadi mahasiswa di jurusan baru. Sebab masuk Unair lewat PMDK itu sangat membanggakan lo. Apalagi kalau ada undangan dari kampus itu karena nilai kita bagus,” terangnya. Justru karena sebagai prodi yang baru saja berumur setahun, Totok beruntung masih bisa mengenal para perintis pendirian prodi tersebut di FISIP Unair. Sebut saja dua nama yang paling populer kala itu yakni Prof. Drs. Soetandyo Wignyosoebroto S.H., M.P.A. yang menjadi Ketua Presidium Fakultas dan Dr. drg. Adi Sukadana, seorang Lektor Kepala di Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Unair. Lewat mereka, Totok mengetahui perjalanan bagaimana prodi antropologi bisa didirikan di FISIP Unair, 28 tahun berselang setelah berdiri yang pertama kalinya di Indonesia, di UI. Jauh sebelum itu, pada 1979, setahun setelah berdirinya Fakultas Ilmu Sosial, ada makalah yang menegaskan kembali gagasan tentang perlunya dikembangkannya suatu program pendidikan ilmu-ilmu sosial di bawah satu atap. Yakni kajian-kajian dasar dalam tiga cabang pokok ilmu-ilmu sosial; psikologi, sosiologi, dan tentu saja antropologi. Makalah yang disajikan dalam rapat kerja yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat untuk membahas masalah pengembangan prodi antropologi itu sekaligus menyinggung pemikiran tentang dikembangkannya program pendidikan antropologi di fakultas ilmu-ilmu sosial termasuk di FISIP Unair. Dua tahun kemudian, 1981, Adi menyampaikan konsep tentang kemungkinan dibukanya prodi antropologi sosial di Unair. Konsep itu membentangkan kelayakan pembukaan jurusan atau prodi antropologi.
Prof. Dr. Phil. Toetik Koesbardiarti (dua dari kanan) bersama teman-teman kuliahnya di Program Studi Antropologi FISIP Unair angkatan 1986. -Toetik K- Sejak tahun itu, persiapan-persiapan dilakukan. Tidak hanya untuk kepentingan operasional, tapi juga memikirkan Langkah agar memperoleh penilaian kelayakan dan persetujuan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk maksud-maksud tersebut ada kontak dengan Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI yang lebih dulu berdiri. Setahun setelah Jurusan Antropologi di Fakultas Sastra UI dipindahkan ke FISIP-UI, bersejajar dengan ide yang sebenarnya telah dikemukakan di lingkungan FISIP Unair beberapa tahun sebelumnya, akhirnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya mengizinkan dibukanya Prodi Antropologi di FISIP Unair. Pada 24 September 1984 keluar Surat keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 117/Dikti/Kep/1984 tentang pendirian prodi antropologi. ”Pada 1985, secara resmi Prodi Antropologi FISIP Unair mulai menerima mahasiswa baru untuk pertama kalinya. “Eh setahun kemudian aku jadi bagian dari prodi itu. Itu kan sudah jalan untukku,” tegasnya. (*) Indeks: Mengenal Prof. Dr. Habil Josep Glinka SVD, ahli antropologi ragawi…