Bagaimana dengan Muhaimin yang sudah semipermanen dengan Prabowo? Dikabarkan, yang terbaru, langkah Ketum PKB Muhaimin justru sudah goyah. Ia mulai merapat ke PDIP.
Potongan puzzle ketiga berasal dari PSI. Partai yang gagal masuk Senayan itu menganulir dukungannya ke Ganjar Pranowo, jago PDIP. Padahal, mereka sebelumnya menggebu-gebu.
Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie beralasan, partainya akan menyerap aspirasi masyarakat lagi. Padahal, bisa ditebak mereka bakal belok ke Prabowo. PSI mengeklaim diri tegak lurus dengan Jokowi.
Itu juga isyarat bahwa mereka juga sudah mendapat ”tanda-tanda” Gibran akan maju mendampingi Prabowo.
Potongan puzzle keempat berasal dari PDIP. Yakni, Puan menyebut Gibran sebagai calon kuat menjadi cawapres yang mendampingi Ganjar. Itu dalam konteks memperebutkan Gibran guna melawan kubu Prabowo. Itu juga sekaligus rebutan dukungan Jokowi.
Potongan puzzle kelima adalah sejumlah elite PDIP dan Nasdem mulai mengobarkan opini Ganjar-Anies atau Anies-Ganjar. Kelompok itu mengisyaratkan untuk membangun pasangan yang kuat. Menjadi jawaban inilah pasangan kuat yang bisa menandingi Prabowo-Gibran.
Potongan puzzle berikutnya, puzzle keenam, aksi kelompok yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Amien Rais, Rizal Ramli, dan sejumlah aktivis mendatangi KPK untuk mengusut anak-anak Jokowi, yakni Gibran dan Kaesang. Mereka melaporkan kasus dugaan korupsi Gibran.
Para tokoh dan politikus senior tersebut tentu tak menginginkan Gibran dan kroni Jokowi berkuasa lagi. Para tokoh senior itu menolak Gibran tentu karena sudah membaca arah politik yang makin mengarah ke anak sulung Jokowi tersebut.
Cuma, yang jadi pertanyaan, apakah Gibran hanya sebagai wayang? Kalau benar begitu, siapakah dalangnya?
Sementara itu, ayahnya, Presiden Jokowi, membantah dirinya sebagai Pak Lurah yang mengatur ketua partai dan koalisi dalam menentukan capres dan cawspres.
”Saya bukan Pak Lurah. Saya Presiden Republik Indonesia.” Begitulah curhatnya di depan sidang tahunan MPR.
Lantas, siapa dalangnya? (*)