Dhani mengajak para penonton untuk menyebut nama tokoh dari Surabaya. "Selain Soekarno, ada lagi, lho. Try Sutrisno, misalnya. Beliau Arek Suroboyo," katanya. "Hayo, siapa lagi?," tanyanya pada penonton.
"Ari Lasso! Ahmad Dhani!," teriak beberapa penonton. Dhani pun tertawa. "Maksude, tokoh sing luwih senior teko aku (Maksudnya, tokoh yang lebih senior dari saya, Red)," katanya.
Lalu ia bergurau dengan mengatakan, "Maia Estianty? Bolehlah. De'e kan tau dirabi Arek Suroboyo. Dadi yo termasuk tokoh (Dia kan pernah dinikahi anak Surabaya. Jadi ya termasuk tokoh, Red)," ungkapnya, lantas tersenyum. Semua yang hadir menimpalinya dengan tawa.
Surabaya adalah Jawa. Tapi Jawa-nya Surabaya berbeda dengan versi Jawa di wilayah Jawa Tengah. Dhani menyimpulkan bahwa sejak keruntuhan Majapahit, tak pernah ada raja di Surabaya.
"Tak ada raja di kota ini sejak Majapahit runtuh. Makanya, masyarakatnya punya superioritas sendiri. Tapi egaliter, menyatu dan berteman tak pandang siapa," terangnya.
Agaknya menyebut Surabaya tak pernah ada raja adalah kurang tepat. Sebab, di Surabaya pernah berdiri kadipaten, yang kemudian berubah menjadi negara otonom yang melepaskan diri dari kekuasaan Mataram Islam.
Seperti dicatat sejarawan Belanda, HJ De Graaf. Bahwa Surabaya menjadi pusat Islam dan sastra Jawa Kuna, melawan pengaruh Mataram. Raja-raja yang pernah berkuasa di Surabaya bergelar "Adipati". Seperti Adipati Jayengrana, Adipati Jayelengkara dan lain-lain. Bukan prabu atau ratu.
Sebab, penguasa Surabaya bukan dari trah Kerajaan Mataram. Melainkan dari trah Sunan Ampel. Para rajanya bekas bawahan Demak dan tetap menggunakan gelar "Adipati" meski telah merdeka.
Namun, titik temunya adalah Dhani ingin menceritakan heroisme masyarakat Surabaya. Sifat apa adanya, keras, blak-blakan, namun tetap egaliter. Semua warganya bisa membaur dengan baik. Ia mengakhiri orasi budayanya tepat pukul 12 malam. (*)