Di tepi petirtaan itu duduk seorang berpakaian hitam, mengenakan udeng. Dua dupa menyala di kanan-kirinya. Tampak khusyuk. Ia baru membuka mata ketika seorang anak kecil tak sengaja memercikkan air ke arahnya. Tak marah, ia malah tersenyum pada anak itu.
Ketika Harian Disway menanyakan namanya, ia kembali tersenyum. Lalu mengatupkan tangan. "Cukup asal saya saja, ya. Saya dari Sidoarjo. Di sini ingin bersamadi sebentar," ujarnya. Ia enggan menyebut nama.
Bagi orang itu, vibrasi masa lalu, juga deras air membawa energi positif di lingkungan petirtaan. Itu bermanfaat bagi dirinya. Tentu bagi para spiritualis lainnya. Sebab, areal petirtaan tersebut kerap digunakan sebagai sarana ritual.
Di puncak bangunan terdapat Prabamandala, atau ruang untuk menempatkan arca. Di situ sebenarnya terdapat arca Wisnu. Yakni dewa dalam kepercayaan Hindu, yang digambarkan menunggang garuda. Tapi arcanya sudah raib.
BACA JUGA: Menyingkap Petirtaan Lereng Penanggungan (5): Jolotundo di Barat, Belahan di Timur
Di bawah Prabamandala, terdapat bangunan vertikal dengan ornamen melengkung di tiap sisi. Arkeolog WF Stutterheim ketika meneliti Jolotundo, menyebut bahwa di situ terdapat batu berbentuk silindris. Di badan batu itu terdapat relief kisah Samudera Mantana.
Nasib batu itu sama dengan arca Wisnu. Raib. Tapi yang menarik adalah kisah Samudera Mantana. Kisah itu memuat kerja sama antara para dewa dan bangsa asura, atau bangsa raksasa. Mereka mengaduk samudera, lalu bersama-sama memanggul potongan Mahameru, untuk dibawa ke tanah Jawa.
Dalam perjalanannya, potongan Gunung Mahameru berjatuhan. Membentuk gunung-gunung besar. Bagian paling puncak adalah Gunung Pawitra, atau Gunung Penanggungan. Meski tak terlalu tinggi, Gunung Penanggungan dianggap sebagai gunung suci, atau tempat paling suci di tanah Jawa.
Menyingkap situs petirtaan di Lereng Penanggungan (1). Para pengunjung Petirtaan Jolotundo banyak yang mengambil air dari jaladwara. Konon, kualitas air petirtaan tersebut terbaik di dunia.-Guruh DN-
Sesuai namanya, Pawitra dalam bahasa Jawa Kuno berarti "keramat", "suci". Namanya berubah menjadi "Penanggungan", dalam bahasa Jawa berarti "pemberat". Tak diketahui sejak kapan nama Gunung Pawitra berubah menjadi Gunung Penanggungan.
Namun, penamaan "Penanggungan" sebenarnya berkaitan dengan "Pawitra". Sebab, dalam kitab kuno Tantu Panggelaran, yang muncul pada era Kerajaan Medang, yang memuat kisah Samudera Mantana, menyebut bahwa Gunung Mahameru dipindahkan ke Jawa sebagai pemberat. Supaya Pulau Jawa tidak terombang-ambing oleh samudera.
BACA JUGA: Menyingkap Situs Petirtaan di Lereng Penanggungan (3): Gempeng bukan Hati Hancur
Ada pula yang menafsirkan bahwa "Penanggungan" berarti "tiang". Menurut arkeolog Agus Aris Munandar dalam bukunya Arkeologi Pawitra, tafsir itu juga berkaitan dengan Tantu Panggelaran dan aspek mitologi Gunung Mahameru.
Bahwa Mahameru merupakan axis mundi, atau poros penghubung, tiang penghubung antara dunia manusia dan alam dewa.
Maka bagian tengah petirtaan disimbolkan sebagai Mahameru.Sedangkan kolamnya adalah gambaran samudera. Tempat para dewa dan bala asura saling mengaduk, lalu mengangkat potongan Mahameru. Bergotong-royong, meninggalkan sejenak segala perselisihan. (Guruh Dimas Nugraha)