AWAL tahun ini banyak pemerintah daerah (pemda) yang dibuat repot oleh undang-undang baru. Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang diberlakukan 2024 ini. Yang di dalamnya juga mengatur pajak daerah dan retribusi daerah.
Pajak dan retribusi itulah yang membuat repot. Selain harus membuat perda dan perbup/perwakot baru, juga karena banyak jenis dan tarif pajak dan retribusi yang berubah. Dampaknya bisa luar biasa. Ada yang tarifnya turun drastis. Sebaliknya, ada yang naik signifikan.
Tarif pajak parkir, misalnya, yang justru turun drastis. Pada UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak parkir diberi kelonggaran hingga maksimal 25 persen. Tapi, dalam UU HKPD ini dibatasi maksimal 10 persen. Artinya, pajak parkir berpotensi turun 60 persen. Bagi kota-kota besar seperti Surabaya, pendapatan dari pajak parkir dipastikan anjlok mulai tahun ini.
Bisa dihitung berapa penurunan pendapatan pajak parkir itu. Pajak parkir adalah pajak atas jasa parkir yang dikelola badan usaha atau swasta seperti mal, plaza, hotel, bandara, stasiun, dan sebagainya. Jika selama ini pemkot memperoleh Rp 2.500 dari setiap tarif parkir Rp 10.000 di mal, nanti hanya akan dapat Rp 1.000.
Pada Pasal 50 UU HKPD, pajak parkir dimasukkan kelompok pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). PBJT yang lain adalah makanan-minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, serta jasa kesenian dan hiburan. Pada pasal 58, ditentukan tarif maksimal PBJT adalah 10 persen.
Bagi pemkab dan pemkot, potensi penurunan pendapatan juga ada pada pajak atas penggunaan listrik. Khususnya yang diproduksi sendiri seperti pabrik-pabrik besar yang memproduksi listrik sendiri seperti PT Tjiwi Kimia di Sidoarjo. Sebelumnya, mereka dikenai pajak 3 persen. Namun, pada UU ini, tarif maksimalnya 1,5 persen.
Di sisi lain, ada tarif pajak yang justru dinaikkan dan kini lagi banyak diprotes pengusaha, yaitu pajak hiburan. Itu khusus diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap. Tarifnya ditentukan minimal 40 persen dan maksimal 75 persen. Selama ini tarif pajak hiburan sesuai UU 28 Tahun 2009 tidak diberi batas minimal, tapi maksimal 75 persen.
Dengan UU HKPD, perda di kabupaten dan kota harus menetapkan pajak hiburan tertentu itu minimal 40 persen. Di Surabaya, misalnya, selama ini hanya 30 persen. Otomatis, dengan UU baru itu, tarif minimal akan menjadi 40 persen yang berarti naik 10 persen basis poin atau 25 persen dari pendapatan yang selama ini diterima.
Di Surabaya, Himpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum (Hiperhu) Surabaya sudah memprotes kebijakan baru itu. Beberapa kelompok pengusaha juga menyiapkan uji materi atas UU HKPD tersebut karena dinilai sangat merugikan pengusaha hiburan.
Ada lagi yang sangat menyulitkan pemkab. Ketentuan baru pajak bumi dan bangunan (PBB). Khususnya pasal 41 ayat 2. Yakni, PBB atas lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.
Mengapa sulit? Sebab, sebelumnya tidak ada klasifikasi objek pajak PBB berdasar penggunaan lahan. Yang ada hanya tanah dan bangunan serta ”tanah kosong”.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya menentukan mana saja dari ratusan ribu hingga jutaan objek PBB –sesuai nomor objek pajak (NOP)– yang berupa sawah, tegalan, atau untuk ternak. Jadi, ketentuan itu akan sangat sulit dilaksanakan meski bisa dibuatkan aturannya di perda.
Di Sidoarjo, misalnya. Dari sekitar 800 ribu SPPT, sangat sulit mendeteksi NOP mana yang merupakan sawah, lahan pangan, tambak, atau perkebunan.
Padahal, dalam perda baru tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang disahkan 5 Januari lalu, ada klasifikasi tarif khusus lahan seperti itu. Yang ditetapkan sebesar 0,07 persen. Lebih rendah daripada tarif PBB terendah, yaitu 0,100 persen untuk NJOP di bawah Rp 500 juta.
Pada perda baru ini, juga dilakukan perubahan penggolongan tarif PBB. Jika sebelumnya hanya dua golongan, yaitu NJOP di bawah Rp 1 miliar dengan tarif PBB 0,105 persen dan di atas Rp 1 miliar 0,225 persen, kini NJOP digolongkan menjadi enam (BUKU). Tarif paling rendah 0,100 untuk BUKU 1 (NJOP di bawah Rp 500 juta) dan paling tinggi untuk NJOP di atas Rp 10 miliar 0,300 persen.