JOKO WIDODO, Rodrigo Duterte, dan Lee Kuan Yew. Ketiga nama itu mempunyai benang biru yang saling bisa diperhubungkan untuk menggambarkan politik Indonesia kontemporer. Jokowi mempunyai jalan politik yang mirip dengan Duterte sang mantan presiden Filpina. Juga, pada tingkat yang berbeda, ada kemiripan dengan Lee Kuan Yew, mantan perdana menteri Singapura.
Ketika Jokowi memaksakan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi calon wakil presiden, orang pun mempersamakannya dengan upaya Duterte menitipkan anaknya, Sara Duterte, untuk menjadi wakil presiden mewakili Ferdinand Marcos Jr atau lebih dikenal sebagai Bongbong Marcos.
Garis persamaan yang ditarik adalah garis politik dinasti yang dipraktikkan Duterte dan Jokowi. Keduanya melakukan politik nepotisme dengan menitipkan anaknya menjadi calon wakil presiden. Sara maupun Gibran sama-sama pernah menjadi wali kota. Sara di Davao dan Gibran di Solo.
BACA JUGA: Respons Keberlanjutan Program Jokowi, PPN Naik Menjadi 12 persen
Selama menjadi presiden, Rodrigo Duterte bertindak seperti koboi. Ia menembak mati penjahat-penjahat narkoba tanpa memedulikan hak asasi manusia. Rapor Duterte di bidang demokrasi merah. Selama masa kekuasaan Duterte, kebijakan luar negeri Filipina bergeser dari pro-Amerika Serikat menjadi pro-Tiongkok. Sepertinya, ada kemiripan dengan Jokowi.
Duterte dengan Jokowi bukan perbandingan apple-to-apple, tetapi banyak kemiripan. Jokowi bukan tipe pembunuh gaya koboi seperti Duterte. Jokowi lebih dikenal sebagai pembunuh berdarah dingin. Konon, Jokowi sangat pendendam dan tidak segan-segan menghabisi karier politik lawan-lawannya.
Rapor Duterte dan Jokowi di bidang demokrasi dan HAM juga tidak beda-beda amat, malah bisa dibilang sangat mirip. Sama dengan Duterte, indeks demokrasi Indonesia merosot tajam selama pemerintahan Jokowi. Rekor HAM Jokowi juga tidak bagus-bagus amat dan indeks pemberantasan korupsi Indonesia merosot selama pemerintahan Jokowi.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Resmikan 33 Ruas Inpres Jalan Daerah Provinsi Jawa Timur Bagian Selatan
Ketika Jokowi memaksakan Gibran menjadi calon presiden, publik pun memperbandingkannya dengan Duterte, terutama karena ada politik nepotisme yang kental di balik pencalonan itu. Bedanya, Duterte tidak perlu memerkosa konstitusi, sedangkan Jokowi melakukannya. Dalam hal ini, Jokowi bisa dibilang lebih koboi ketimbang Duterte.
Benang biru pemilu presiden Filipina dengan Indonesia juga bisa ditarik dari pencalonan Ferdinand Mercos Jr. alias Bongbong Marcos dengan pencalonan Prabowo Subianto. Dalam kasus ini, kesamaannya agak jauh, tapi benang birunya masih tetap terlihat jelas.
Bongbong ialah anak laki-laki diktator Filipina Ferdinand Marcos yang ditumbangkan oleh people power pada 1984. Prabowo ialah menantu penguasa Orde Baru selama 32 tahun, Soeharto, yang akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi pada 1998.
BACA JUGA: Bakal Jadi Kekuatan Ekonomi Global, Presiden Jokowi Ajak Australia Berinvestasi di ASEAN
Bongbong dan Prabowo sama-sama punya masa lalu yang kelam bersama rezim otoriter. Keduanya kemudian muncul ke panggung politik dengan berusaha menghapus jejak masa lalunya melalui berbagai kampanye media sosial yang canggih.
Bongbong menyasar pemilih muda dengan menggambarkan dirinya sebagai capres yang bersih. Prabowo menyasar khalayak lebih luas dengan mencitrakan dirinya sebagai capres yang lucu dan gemoy, bukan capres yang brutal yang selama ini melekat pada citranya.
Bongbong dan Prabowo akhirnya menang. Cara menang Prabowo lebih kasar karena mendapat ”dekengan pusat” dari Jokowi. Meski kemenangan belum konklusif, publik sudah mengira-ngira bagaimana masa depan hubungan Jokowi dan Prabowo.