Guru juga tidak akan mampu menggantikan seluruh peran orang tua.
Nilai-nilai luhur tidak lagi ditanamkan oleh orang tua kepada anak.
Cerita-cerita kepahlawanan, kesatria, dan keberadaban tidak lagi menjadi bagian dari pengantar tidur anak. Tokoh-tokoh wayang sebagai contoh perilaku yang sarat dengan nilai tidak lagi dikenal oleh anak-anak.
Pendidikan keluarga telah digantikan oleh TV yang kurang memberi nilai edukasi. Program TV yang hanya mengejar rating sering kali menampilkan tayangan-tayangn yang memberikan mimpi-mimpi dengan gaya hidup yang hedonis dan materialis.
Akibatnya, orientasi hidup anak tidak lagi mengarah kepada kemartabatan, tetapi bergeser ke arah pragmatisme dan instan.
Oleh sebab itu, jika ingin membangun etika bangsa, fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan harus dibangkitkan kembali. Budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur harus dihidupkan kembali.
Peran orang tua sebagai suri teladan tentang sikap dan perilaku yang baik harus disadarkan kembali.
Kerja sama antara orang tua dengan sekolah dan para guru harus ditata ulang. Konflik antara orang tua dan sekolah maupun guru yang sering terjadi harus dihindari.
Keduanya harus seiring dan sejalan dalam mendidik generasi bangsa.
Kepercayaan orang tua terhadap sekolah maupun guru harus ditingkatkan.
Di sis lain, tanggung jawab sekolah dan guru terhadap pendidikan anak juga harus dikuatkan. Orientasi pendidikan di sekolah pun tidak hanya pada prestasi akademik, tetapi juga memberikan ruang dan penghargaan terhadap etika.
Sebab, anak yang pandai tetapi tidak beretika justru akan menjadi monster yang sangat menakutkan. (*)
Warsono, ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022–2026; guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa; ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.--