SAYA makin suka menonton pertandingan tim nasional Indonesia belakangan. Apalagi, sejak tim sepak bola asuhan Shin Tae-yong itu berhasil membantai Vietnam. Jujur saja, saya geregetan dan malu, masak Indonesia kalah oleh negara yang baru saja mulai maju.
Maka, ketika Marselino dkk berhasil mempermalukan timnas Vietnam dalam laga tandangnya di Gelora Bung Karno dan membantai tiga gol tanpa balas tim yang sama di laga tuan rumah mereka, saya ikut jingkrak-jingkrak. Padahal, saat itu saya menonton laga timnas senior tersebut sendirian di rumah.
Demikian juga saat timnas U-23 berlaga dalam Piala AFC di Qatar. Saya menyaksikan jutaan orang ikut gemas ketika tim kita dikerjai wasit saat melawan timnas Qatar. Tampak sekali pengadil lapangan banyak membantu timnas tuan rumah untuk memenangi laga. Sampai-sampai pelatih Indonesia dan Yordania menyebut laga melawan Qatar sebagai komedi.
Tapi, ya begitulah sepak bola. Regulasi yang berlaku di dunia menempatkan wasit sebagai penguasa tunggal selama 90 menit pertandingan. Segala keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ada mekanisme banding, tapi ya kecil kemungkinan keputusan wasit di lapangan bisa berubah oleh keputusan di luar laga.
Kemarin malam hati tambah membuncah. Saat timnas Indonesia bisa mengalahkan Yordania 4-1. Satu gol pun tidak langsung dari pemain Yordania. Melainkan, kesalahan penyelamatan oleh Justin Hubner. Jadinya, praktis lima gol ke gawang tak satu pun diciptakan pemain Yordania.
Saya perhatikan, dunia maya juga penuh puji-pujian untuk timnas Indonesia. Betapa tidak. Begitu lama kita sering disuguhi berita kurang menyenangkan tentang sepak bola kita. Pengaturan pertandingan, korupsi wasit, pemain titipan, bahkan kerusuhan di stadion.
Saya pernah menjadi ketua umum klub. Kini lebih populer dengan sebutan presiden klub. Saat itu kompetisi dan turnamen tidak pernah ada yang pasti. Kecuali klub yang di-setting jadi juara dari awal. Biasanya telah diatur para elite federasi. Atau, yang punya hubungan dekat dengan mereka.
Saat itu saya mengibaratkan mengurus bola itu seperti menggali sumur tanpa batas. Tidak pasti. Kalau tidak terkontrol, bisa ikut tenggelam dalam sumur yang kering. Nggak bisa bangkit. Mafia wasit dan mafia bola lebih menentukan ketimbang kualitas tim.
Kedatangan pelatih timnas Shin Tae-yong dan tampilnya Erick Thahir dalam kepemimpinan PSSI memberikan harapan baru. Proyek naturalisasi pemain asing menjadi pilihan yang menjanjikan. Menutup kelemahan pemain lokal, sekaligus memompa persaingan antarmereka. Nah, nanti dari proses itu kita lihat hasil akhirnya.
Biarkan saja sekarang masih ada polemik tentang paradigma naturalisasi dan paradigma local pride. Keduanya layak memperoleh ruang pembuktian. Sebab, bola bukan permainan tertutup. Ia pandora yang terbuka dan bisa dilihat siapa saja. Hasil baik pantas euforia. Hasil jelek tak usah baper dirundung.
Seperti jutaan penggemar bola Indonesia, saya termasuk yang tak mempersoalkannya. Yang penting, timnas bisa menunjukkan prestasinya. Seperti ketika ditangani Shin Tae-yong dan PSSI dipimpin Erick Thohir ini. Bisa diperhitungkan di level Asia maupun dunia.
Saya tidak seperti Bung Towel alias Tommy Welly. Pengamat bola yang memilih angle atau sudut pandang kritis terhadap Shin Tae-yong maupun PSSI. Yang tidak pernah melihat capaian timnas sekarang sebagai prestasi pelatihnya. Meski, ia juga tahu bagaimana para pelatih timnas sebelumnya.
Misalnya, saya dulu selalu bisa menduga timnas akan banyak kebobolan di babak kedua. Karena persoalan stamina. Banyak pemain bergelimpangan ketika pertandingan persahabatan dengan timnas dari negara lain. Selalu tak ada harapan hanya untuk bisa mengimbanginya.
Itu berlangsung lama. Sampai paradigma naturalisasi dipakai pengurus PSSI. Perkembangan fisik pemain meningkat tajam. Kini timnas U-23 bisa bertahan bermain sampai 90 menit hanya dengan 9 pemain saat melawan timnas U-23 Qatar. Juga, tetap menyerang dan fokus bertahan sampai akhir meski sudah menang atas Australia dan Yordania.
Tapi, kalau menurut Bung Towel itu bukan prestasi pelatihnya, sekali lagi ini soal konsistensi atas angle. Komitmen yang tak tergoyahkan terhadap sudut pandang dalam melihat peristiwa atau fenomena timnas yang telah berkembang di luar dugaan banyak orang. Konsistensi itu harus juga diapresiasi.