Prof Haedar Nashir dalam bukunya yang berjudul Indonesia: Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa menyebutkan bahwa budaya klenik sama dengan budaya kasur tua. Sosok pemimpin ideal pun penuh selimut nalar komunal hastabrata.
Pemimpin sempurna setara dewa yang nyaris mustahil manapak tanah. Lalu, ketika kegagalan dan derita hadir akibat salah urus dan pemimpin tak berfungsi nyata, rakyat pun tak pernah jera, tetap terlena dalam budaya klenik yang sarat dengan romantisme zaman purba.
Dunia politik di negeri ini terus dikerubungi simbol-simbol paternalisme masa lampau yang penuh dengan suasana mistis sehingga kehilangan real function di bumi. Bahkan, demokrasi disamakan dengan anarki atau dijadikan siasat, bukan siasah yang berarti cara mengurus sesuatu dengan baik dan benar (sawasah al-amr).
Hiruk pikuk pemilihan pemimpin tidak didasarkan pada rasionalitas, akan tetapi dengan perasaaan dan naluri-naluri yang romantis.
MITOS RATU ADIL
Mengapa sejarah bangsa ini diwarnai dengan pemujaan kepada rajanya dengan sikap hidup-mati? Padahal, sejarah juga membuktikan bahwa di antara raja-raja yang dijunjung tinggi laksana dewa itu banyak yang tak mencintai rakyatnya. Banyak yang jadi penindas.
Mereka kebanyakan pemuja takhta dan kekuasaan. Jangankan wilayah, bahkan setiap kepala rakyat dianggap hak miliknya dan seenaknya mempermainkan.
Narasi agung dan mitos pemimpin ala Al-Mahdi dan Ratu Adil begitu melekat dalam nalar komunal rakyat, terutama di daerah-daerah miskin. Putaran dan siklus krisis yang terjadi di negeri ini selalu melahirkan bayangan Ratu Adil. Maka, lahirlah konstruksi notonegoro dan sebagainya. Kalau tidak sama, yang muncul akan dicocok-cocokkan.
Pada masa lalu, pemimpin milenari Ratu Adil hadir di kala kritis dan rakyat mengharapkan sosok sang penyelamat.
Itu seperti sosok Saya San di Myanmar, Pangeran Heru Cokro Diponegoro di Jawa, Kinjiktile Ngwale di Sub-Afrika Sahara, Birsa Mundo di Chota Naghpur India, dan Te Ua Haumene di lingkungan masyarakat Mauri, Selandia Baru.
Mereka merupakan para pemimpin milenari yang mengambil momen sejarah penting melalui pemberontakan petani.
Dalam lingkup masyarakat seperti itu, pemimpin dijunjung setinggi langit. Rakyat dikondisikan seakan hidup makmur tanpa masalah.
Sosok pemimpin milenari dan budaya klenik itulah yang membuat bangsa ini nyaman dalam kubangan masalah, hidup mengawang-awang di langit, tapi lupa pijakan di bumi.
Pergantian pemimpin hanya digantungkan pada pulung dan guratan takdir yang semu dan abu-abu.
Perubahan nasib bangsa yang berjumlah ratusan juta ini hanya diserahkan kepada terpaan dan tiupan angin yang penuh dengan visi milenari.
Lantas, kapan kemajuan yang benar-benar terjadi untuk Indonesia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Padahal, Tuhan sudah berfirman, ”Tak akan mengubah keadaan suatu kaum, kalau kaum itu tidak mau mengubah nasibnya sendiri.” (Q.S. Arra’d:11). (*)