PERTUNJUKAN AKBAR
Pengalaman spiritual yang mendalam dalam ibadah haji digambarkan tokoh revolusioner Iran, Ali Syari’ati (1933–1977), melalui buku berjudul Hajj/Pilgrimage (2005). Dalam karya itu, Syari’ati mengilustrasikan ibadah haji laksana sebuah pertunjukan.
Pernyataan Syari’ati jelas tidak berlebihan jika kita memperhatikan protokoler ibadah haji. Jika diamati secara saksama, jelas sekali bahwa pelaksanaan rukun Islam kelima itu memang laksana sebuah pertunjukan. Namun, bukan pertunjukan biasa, melainkan pertunjukan akbar karena melibatkan jutaan orang.
Dalam pertunjukan akbar itu, Allah SWT menjadi sutradara. Tokoh-tokoh yang harus diperankan adalah Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi utamanya di sekitar Masjidilharam, Masjid Nabawi, Tanah Haram, Ka’bah, Shafa, Marwah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan tempat bersejarah lainnya.
Simbol-simbol yang penting diperhatikan adalah siang, malam, matahari terbit, matahari tergelincir, matahari terbenam, berkurban, tahalul (mencukur rambut), dan berhala. Baju kebesaran yang harus dipakai adalah pakaian ihram.
Pemain utama dari seluruh pertunjukan akbar itu adalah setiap jamaah haji sendiri. Setiap pemain dituntut untuk memainkan peran dengan penuh penghayatan. Untuk itulah, setiap jamaah haji harus membawa bekal yang terbaik saat berangkat ke Tanah Suci.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa sebaik-baik bekal yang harus dibawa adalah takwa (Q.S. Al-Baqarah:197). Modal ketakwaan itulah yang akan menjamin setiap jamaah mampu meneladani karakter tokoh-tokoh yang diperankannya. Modal ketakwaan juga penting untuk menata niat agar ibadah hajinya diterima Allah SWT.
Apabila dihayati dengan saksama, proses ibadah haji pasti dapat mengantarkan setiap pribadi dalam kehidupan yang diwarnai kesadaran mengenai keberadaan Allah. Rumah Allah (Baitullah, Ka’bah) yang mengarah ke semua penjuru melambangkan bahwa Allah berada di mana saja.
Tatkala kesadaran itu muncul, setiap jamaah haji termotivasi untuk mencium batu hitam (hajar Aswad) atau minimal melambaikan tangan ke arah Ka’bah. Saat itulah setiap jamaah haji merasakan kedekatannya dengan Allah. Tanpa disadari air mata pun tumpah sebagai wujud rasa syukur karena dapat memenuhi panggilan Allah untuk berkunjung ke Ka’bah.
MENGHAYATI PERTUNJUKAN
Pertanyaannya, dapatkah setiap jamaah haji menghayati peran yang dimainkannya? Untuk menjawab pertanyaan itu memang tidak mudah. Namun, umumnya jamaah haji sukses memainkan peran dalam pertunjukan akbar itu.
Salah satu indikatornya, tidak ada jamaah haji yang merasa ”kapok” berangkat ke Tanah Suci. Yang terjadi justru keinginan untuk senantiasa dipanggil sebagai tamu-tamu Allah (wafdullah).
Dengan panggilan itu, berarti Allah yang akan menjadi tuan rumah. Karena itu, dikatakan bahwa jamaah haji berkunjung ke Baitullah. Sebagai tuan rumah, Allah yang akan menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi jamaah haji.
Dalam beberapa hadis, Rasulullah juga menekankan keutamaan ibadah haji. Misalnya, nabi bersabda bahwa ibadah haji yang diterima Allah (mabrur) itu pahalanya tiada lain kecuali surga. Karena janji yang diberikan Allah dan Rasulullah begitu rupa, motivasi umat untuk menjalankan ibadah haji terus bergelora.
Setiap tamu Allah pasti selalu teringat tatkal melaksanakan proses ibadah haji. Selalu terbayang tatkala ia mengelilingi Ka’bah (tawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwah (sai), berkumpul di Arafah (wukuf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), bermalam (mabit) di Muzdalifah dan Mina, menggunting atau mencukur rambut (tahalul), serta mencium batu hitam (hajar Aswad).
Khusus jamaah haji laki-laki, juga ada ketentuan yang harus dipatuhi. Misalnya, kewajiban menggunakan pakaian ihram. Dua helai kain putih yang tidak berjahit. Pada saat tertentu juga tidak diperkenankan untuk menggunakan alas kaki yang menutup mata kaki.