Holding Muhammadiyah, Waralaba Nahdlatul Ulama (NU)

Minggu 23-06-2024,23:06 WIB
Reporter : Dhimam Abror Djuraid*
Editor : Yusuf Ridho

Jepang ingin menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Gerakan Asia Raya. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang memperbolehkan umat Islam mendirikan organisasi. 

Awalnya Jepang bertindak sangat keras terhadap praktik Islam yang menolak melakukan ”seikerei” alias penghormatan dengan membungkuk ke arah matahari, sekaligus sebagai penghormatan terhadap Kaisar Hirohito di Jepang yang diyakini sebagai titisan Dewa Matahari.

Namun, kemudian Jepang menyadari bahwa hal itu akan memunculkan permusuhan dan kebencian yang besar dari kalangan umat Islam. Seikerei pun ditiadakan. Bahkan, Jepang kemudian memberi hati kepada kaum muslim dengan mengizinkan organisasi-organisasi Islam untuk muncul. 

Maka, organisasi dagang seperti Sarikat Islam dan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan beberapa organisasi lain kemudian diberi kebebasan.

MIAI yang sangat menentang kolonialisme kemudian dibubarkan penjajah Jepang pada 24 Oktober 1943. Oraganisasi itu kemudian diganti menjadi Masyumi dengan harapan lembaga tersebut dapat mudah dikontrol pemerintah kolonial.

Sebagaimana MIAI, ormas besar Islam yang menjadi pendukung utama Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU. Setelah kemerdekaan 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan maklumat politik untuk memberikan hak kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik. 

Maka, berdirilah Partai Masyumi pada 1945. Partai itu menjadi semacam partai konfederasi yang menjadi payung semua kekuatan sosial politik Islam. NU dan Muhammadiyah menjadi tulang punggung partai tersebut.

Namun, kemudian dua kekuatan besar itu berpisah dan NU keluar dari Partai Masyumi, lalu mendirikan sendiri Partai NU. Pada Pemilu 1955, PNI (Partai Nasional Indonesia) menjadi juara, lalu Masyumi dan NU berada di runner-up dan juara ketiga. Seandainya tidak pecah, Masyumi akan menjadi pemenang pemilu.

Kepentingan dan aspirasi politik yang berbeda akhirnya memisahkan dua kekuatan besar itu. Keduanya terpisah dan tidak bisa benar-benar dipertemukan lagi. Di masa kekuasaan Bung Karno, politik Islam dianggap sebagai lawan yang berbahaya. 

Bung Karno menciptakan nasakom (nasional, agama, dan komunis) yang didukung NU. Masyumi menjadi oposisi dan akhirnya dibubarkan Soekarno pada 1960.

Di masa kekuasaan Soeharto, kekuatan Islam politik ditekan. Partai-partai Islam dipaksa untuk melakukan merger menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Di bawah tekanan politik yang keras dari rezim Orde Baru Soeharto, kekuatan Islam tiarap dari aktivitas politik dan lebih concern pada gerakan sosial dan dakwah. 

NU menyatakan kembali ke khitah pada muktamar di Situbondo 1984 dan melepaskan diri dari politik. Muhammadiyah berkonsentrasi pada aktivitas dakwah dan pendidikan.

Pada masa reformasi, NU melahirkan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Muhammadiyah melahirkan PAN (Partai Amanat Nasional). Menjelang Pilpres 2024, NU dan Muhammadiyah menjaga jarak dari partai politik yang dibidaninya. 

Hubungan Muhammadiyah dengan PAN di bawah Zulkifli Hasan seperti hubungan anak pacaran backstreet, main belakang. 

Sementara itu, hubungan NU di bawah KH Yahya C. Staquf dengan PKB di bawah Muhaimin Iskandar seperti pacaran segitiga memperebutkan gadis cantik, yaitu konstituen NU.

Di bawah Yahya Staquf, NU tidak mau dikooptasi PKB sebagai sayap politiknya. NU ingin memainkan sendiri perannya sebagai organisasi Islam yang punya pengaruh politik besar. NU bertindak independen, tapi tetap dekat dengan rezim Jokowi dan Prabowo.

Kategori :