Hasil survei kadang juga memengaruhi opini masyarakat ke mana aspirasi suara akan diberikan.
Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga survei dalam melaksanakan survei murni sebagaimana fungsi lembaga survei ataukah berdasarkan pesanan kelompok tertentu yang diarahkan untuk menggiring opini publik.
Pertanyaan itu sering muncul pada masa-masa tahun politik.
Tidak dapat dimungkiri bahwa dinamika perpolitikan sangat cepat, khususnya terkait dengan pilkada.
Untuk memunculkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, sering terjadi silih berganti, kadang pergantian calon walaupun masih dalam tahap penjaringan, belum penetapan resmi oleh partai pengusung dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sering berubah.
Perubahan terhadap calon kepala daerah yang diusung biasanya juga dipengaruhi hasil survei terkait elektabilitas calon, posisi tawar calon, kebijakan partai, hasil kesepakatan partai koalisi, dan pertimbangan lainnya.
Yang lebih menarik, kadang aspirasi arus bawah yang memunculkan calon dan pasangannya melalui baliho, spanduk, dan media lainnya, tanpa seizin partai, dan calon yang dimunculkan oleh arus bawah kadang tidak selalu berbanding lurus dengan kriteria dan rekomendasi partai politik yang menjadi pengusung.
Fakta demikian menjadi suguhan yang dapat dijumpai di berbagai tempat pemasangan baliho, spanduk, dan sejenisnya.
PENTINGNYA DEMOKRASI YANG SEHAT
Salah satu demokrasi yang sehat adalah adanya partisipasi masyarakat dalam politik. Ketika masyarakat arus bawah memunculkan calon dalam konteks pilkada berdasar kriteria dan aspirasi mereka, sesungguhnya merupakan bagian dari kebebasan berdemokrasi yang ditandai dengan kebebasan berpendapat untuk menyampaikan aspirasi.
Hal itu dijamin konstitusi. Walaupun aspirasi yang disampaikan masyarakat tidak selalu sama dengan apa yang dikehendaki partai, partai politik penting untuk mendengar aspirasi masyarakat. Termasuk dalam mengusung calon, tidak semata-mata berdasarkan kebijakan pimpinan partai.
Dalam upaya menyiapkan pilkada secara langsung dengan jujur dan adil, perlu dilakukan penguatan demokrasi dan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk penguatan partisipasi masyarakat dalam pemilu yang diwujudkan dalam pemberian hak suara dalam pemilu tanpa politik uang.
Hal demikian menjadi pembelajaran demokrasi yang sangat penting dalam perpolitikan. Akan tetapi, kalau praktik demokrasi dibarengi dengan tekanan dari kelompok tertentu atau politik uang, akan menjadi catatan buruk bagi perjalanan demokrasi di Indonesia karena demokrasi berlangsung secara tidak sehat.
Berdemokrasi secara sehat dan berkualitas tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia.
Sebab, faktanya, masyarakat dan partai politik masih menjadikan modal finansial sebagai hal utama dalam perpolitikan, khususnya dalam pencalonan kepala daerah, bahkan sampai di level calon kepala desa, bukan figur sosok calon yang menjadi pertimbangan utama. Akibatnya, yang sering ditemukan adalah praktik politik uang.
Hal demikian penting menjadi bahan refleksi bagi perjalanan demokrasi di Indonesia untuk diperbaiki. (*)