SURABAYA, HARIAN DISWAY - Pernikahan anak masih di Jatim masih tinggi. Bahkan, persentase pernikahan anak di Jatim lebih tinggi dari angka nasional. Walau angkanya setiap tahun terus turun. Salah satu faktor penurunan itu karena penguatan regulasi untuk dispensasi pernikahan anak.
Salah satunya dengan merevisi undang-undang nomor 1/1974 menjadi UU nomor 16/2019 tentang perkawinan. Di regulasi itu, syarat pernikahan minimal yang awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun. Serta beberapa aturan yang diperbaiki.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), di 2019 angka pernikahan anak di Jatim sebanyak 19,26 persen. Di tahun berikutnya angkanya sempat naik menjadi 20,20 persen.
BACA JUGA: Polres Nganjuk Tandatangani MoU dengan STKIP PGRI dan Pengadilan Agama
Tetapi, kembali turun di 2022 sebanyak 18,97 persen. Sementara, rata-rata nasional untuk pernikahan anak di tahun yang sama sebesar 8,06 persen. Bagi KPPPA, mereka yang menikah di usia anak adalah korban.
Staf Ahli Hubungan Antar Lembaga KPPPA Rini Handayani mengatakan, dalam situasi saat ini, pemerintah harus bekerja keras untuk menghapus praktik pernikahan anak. Karena dapat mengancam tumbuh kembang anak dan kelangsungan hidup anak.
“Mereka adalah korban pengasuhan yang tidak layak. Korban informasi yang tidak ramah terhadap anak. Korban budaya yang masih mengakar,” katanya dalam diskusi hukum di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya, Jumat 28 Juni 2024.
BACA JUGA: Cuma 2 Persen Data Nasional Di PDNS Surabaya Yang Ter-Backup, DPR: Itu Kebodohan!
Dia mengungkapkan beberapa dampak yang akan dialami dalam pernikahan anak. Seperti: anak yang melaksanakan pernikahan itu pastinya akan putus sekolah. Meningkatnya jumlah pekerja anak. Tingkat kemiskinan di Indonesia terus meningkat.
“Mereka putus sekolah. Tidak memiliki ijazah, pastinya akan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Kalaupun dapat kerja, pastinya penghasilannya rendah. Dampaknya itu saling berkaitan semua,” ungkapnya.
Selain itu, akan berdampak pada kesehatan anak dan ibu saat hamil sampai melahirkan. Emosi yang tidak stabil juga akan menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, identitas anak terganggu dan pola asuh anak yang salah.
Selain regulasi, KPPPA mengajak kolaborasi 18 kementerian dan lembaga untuk menjalankan strategi nasional (Stranas). Sehingga, dapat menekan jumlah terjadinya dispensasi pernikahan anak.
BACA JUGA: Sudah 7 Hari, Pelaku Peretasan PDN Belum Ketemu! BSSN: Kami Terima Bantuan 19 Negara
Stranas yang dia maksud adalah membentuk lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, optimalisasi kapasitas anak, aksesibilitas dan perluasan layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan. Serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
Tetapi, menurutnya, tidak cukup hanya regulasi saja. Masyarakat juga harus terlibat. Caranya dengan menghilangkan kemauan dan keinginan untuk melakukan pernikahan anak. “Merubah pola pikir itu yang sangat sulit,” terangnya.