Win: ”Dia (Arifah) cerita, uang belanja Rp 700 ribu sebulan enggak cukup. Lagian, dia juga tahu bahwa suaminya selalu mengirim uang ke mantan istrinya Rp 1,5 juta per bulan. Dia bilang, itu enggak adil.”
Polisi baru saja mengungkap bahwa hasil penyidikan, Andika pernah menikah sebelum menikahi Arifah.
Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Nicolas Ary Lilipaly kepada wartawan, Selasa, 2 Juli 2024, mengatakan: ”Tersangka pernah menikah sebelum menikahi korban. Pernikahan itu berakhir akibat KDRT juga. Tersangka menganiaya istrinya yang dulu (sebelum dengan Arifah). Cuma, waktu itu mantan istri tidak lapor polisi. Diselesaikan damai. Lalu, istri menggugat cerai, mereka pun bercerai.”
BACA JUGA: Suami Bunuh Istri di Cikarang, Bekasi: Para Tetangga Takut Hantu di Rumah Pembunuhan
BACA JUGA: Jadilah Detektif di Pembunuhan Desy
Mbak Win: ”Gegara uang belanja kurang itu, mereka sering berantem. Dia dipukulin suami. Dia ceritain itu di sini sambil makan pisgor, minum es teh, kira-kira tiga hari sebelum dia dibunuh suami.”
Uang belanja bulanan suami istri adalah problem bersifat universal. Tidak cuma di Indonesia, tapi juga di dunia, termasuk Amerika Serikat (AS). Kendati, Indonesia negara miskin, AS negara kaya. Bentuk problem terkait uang belanja pasutri berbeda bentuk. Tapi, sama-sama problem. Sama-sama bisa menimbulkan perceraian. Di sana umumnya tidak menimbulkan KDRT karena di negara kaya.
The Guardian, Kamis, 14 Agustus 2014, berjudul Financial Bullying Can Ruin A Marriage: First-Person Stories, mengulas itu. Diungkap berdasarkan cerita orang pertama atau pelaku langsung. Bukan interpretasi wartawan atau hasil wawancara. Melainkan, cerita langsung dari beberapa pelaku. Di sana uang belanja dari suami ke istri yang dinilai terlalu kecil disebut financial bullying. Suami melakukan financial bullying ke istri.
BACA JUGA: Kecelakaan Cakung Diduga Pembunuhan
BACA JUGA: Pembunuhan Mojosari, Tersangka Dukun dan Aji Pesugihan
Ada perbedaan budaya antara masyarakat AS dan Indonesia soal itu. Di sana hampir semua pasutri menerapkan manajemen keuangan keluarga secara terbuka.
Bisa berupa rekening bank bersama (atas nama suami dan istri). Bisa pula bentuk lain, misalnya, uang pendapatan suami masuk ke rekening istri, tapi suami harus tahu penggunaannya. Jika menggunakan uang itu di luar anggaran belanja rutin keluarga, istri harus seizin suami. Bisa juga rekening sendiri-sendiri jika istri juga berpenghasilan.
Dasar konsep AS itu adalah pernikahan pria wanita merupakan peleburan hidup dua orang menjadi satu. Menyatu. Maka, semua penghasilan suami menjadi hak seluruh anggota keluarga. Dilarang dikurangi suami, sepeser pun. Sebab, suami disebut tulang punggung keluarga (sama dengan di Indonesia). Jika terjadi pengurangan, itulah financial bullying.
Sedangkan, penghasilan istri adalah hak istri. Sebab, dia bukan tulang punggung keluarga (ini sama dengan di Indonesia yang mayoritas menganut hukum Islam).
Di Indonesia, mayoritas suami memberikan uang belanja rutin bulanan kepada istri. Uang itu digunakan untuk semua kebutuhan keluarga sehari-hari, termasuk kebutuhan suami. Sedangkan, suami punya rekening pribadi. Gaji dan aneka penghasilan suami masuk ke situ, lalu dipisahkan sebagian untuk uang belanja keluarga.
Model tersebut kelihatan egois (perspektif suami) jika dibandingkan dengan di negara kaya. Sebab, masyarakat kita masih tradisional meski ada yang sudah berpendidikan tinggi. Mereka yang berpendidikan tinggi menerapkan pola tradisional itu karena menirukan gaya ortu mereka yang kurang pendidikan.