Wartawan mewawancarai istri Waryanto, Marijah, 50, di Desa Cabean, Kamis, 18 Juli 2024. Tampak, Marijah masih syok. Dia terus menangis, didampingi keluarga.
Marijah: ”Saya dikabari lewat telepon teman kerjanya kemarin sore. Saya langsung lemes. Padahal, tidak ada firasat apa-apa sebelumnya.”
Waryanto bekerja di TPST Bantargebang sejak 2017. Sejak itu ia meninggalkan keluarganya di desa. Sesekali ia pulang kampung untuk menjenguk keluarga saat libur kerja. Terakhir ia pulang kampung ketemu keluarga pada Juni 2024. Beberapa hari. Lalu, Waryanto balik ke Bekasi pada 28 Juni 2024.
Marijah masih bertelepon dengan Waryanto pada Senin malam, 15 Juli 2024. Komunikasi biasa. Saling bertanya kabar. Tidak ada pembicaraan spesifik.
Ditanya wartawan, apakah Waryanto punya musuh? Marijah: ”Suami saya orangnya tidak suka musuhan. Dengan teman, dengan tetangga, baik. Ia sayang keluarga. Saya minta polisi mencari pelakunya dan menghukum seberat-beratnya.”
Perkara itu sudah ditangani jajaran kepolisian Bekasi. Polisi yakin, jelas itu kasus pembunuhan. Polisi melakukan investigasi, mengumpulkan barang bukti, meminta keterangan banyak saksi.
Sampai Kamis malam, 18 Juli 2024, polisi belum mengumumkan hasil penyelidikan sementara. Sementara itu, mayat Waryanto sudah diberangkatkan dengan ambulans menuju desanya Kamis malam. Diperkirakan, jenazah tiba di desa Jumat pagi dan akan langsung dimakamkan di TPU desa setempat.
Tidak gampang bagi polisi menyelidiki pembunuhan dengan mayat korban di perairan. Berbeda dengan di darat, mayat di perairan cepat membusuk. Jejak forensik seperti DNA pelaku, sidik jari, atau bukti fisik lainnya sangat minim. Sebab, aneka jejak itu cepat rusak di perairan.
Banyak pembunuhan model begitu yang tak terungkap. Atau mengendap jadi perkara beku, akibat minimnya bukti. Gelap. Polisi kesulitan untuk melacak pelaku sehingga menjadi kejahatan sempurna (dari perspektif pelaku).
Namun, tak semua pembunuhan dengan korban dibuang ke air tak terungkap. Dalam kriminologi, semua pelaku pembunuhan pasti melakukan keteledoran. Bahkan, bagi pembunuh berpengalaman sekalipun. Pasti teledor, walau kecil. Sebab, manusia pasti grogi membunuh sesamanya. Grogi membikin teledor.
Polisi sudah terlatih melacaknya. Khusus untuk mayat korban dibuang ke perairan, dibutuhkan ketangguhan polisi untuk mengungkapnya.
Dikutip dari The New Yorker, 4 Februari 2008, berjudul A Postmodern Murder Mystery, dikisahkan proses pengungkapan pembunuhan serupa di Polandia. Sangat detail. Ditulis David Grann.
Di sana tergambar kegigihan detektif Jacek Wroblewski, usia 38 tahun, pada 2000. Ia detektif khusus pembunuhan di Kepolisian Wroclaw, Polandia.
Suatu siang, Desember 2000, di Sungai Oder, Polandia Barat Daya. Tiga nelayan pria menjaring ikan di sana. Salah satunya melihat sesuatu mengambang di sungai. Setelah didekati, ternyata itu mayat pria. Mereka segera menelepon polisi.
Polisi mengeluarkan mayat dari air. Deskripsi mayat: tali melingkari leher, tangannya diikat ke belakang. Sebagian dari tali tersebut, yang diidentifikasi telah dipotong dengan pisau, pernah tersambung ke lehernya. Karena itu, gerakan sekecil apa pun di tangan, pria itu pasti tercekik.
Hasil pemeriksaan patologi, di usus korban tidak ada makanan. Menunjukkan ia kelaparan beberapa hari sebelum dibunuh.