Terakhir, dengan Filipina telah mencatatkan surplus USD 694,8 juta. Diketahui pula, neraca perdagangan barang yang surplus tersebut berasal dari kinerja ekspor yang mencapai USD 22,33 miliar atau naik 13,82 persen (month-to-month/mtm) dan 2,86 persen (year-on-year/yoy). Sementara nilai impor mencapai USD 19,40 miliar, naik 14,82 persen (mtm), tetapi turun 8,83 persen (yoy). Surplus neraca dagang Juni 2024 ditopang oleh surplus dari sektor nonmigas yang nilainya USD 4,43 miliar.
Komoditas penyumbang surplus utamanya adalah bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan serta besi dan baja. Akan tetapi, surplus itu tergerus oleh defisit dari sektor migas sebesar USD 2,04 miliar. Komoditas penyumbang defisitnya adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Raihan surplusnya neraca perdagangan terutama terhadap AS secara implisit merupakan konsekuensi logis kebijakan Negeri Paman Sam di era Biden sangat menguntungkan posisi Indonesia. Meski demikian, hal itu tidak serta merta berpengaruh pada volatilitas mata uang rupiah yang kian terdepresiasi.
Sebab, faktor determinan pelemahan mata uang rupiah justru lebih banyak berasal dari dampak kebijakan bank sentral, The Fed, yang masih memberlakukan suku bunga acuan yang bersifat higher for longer yang difokuskan untuk mengendalikan tingkat inflasi dalam negeri AS sendiri.
Alih-alih terjadi market panic pasar uang di luar AS, mundurnya Joe Biden malah memicu volatilitas pasar uang Negeri Paman Sam sendiri karena wait and see tentang siapa pengganti Joe Biden untuk bertarung di kontestasi pilpres AS mendatang. (*)
Sukarijanto, direktur di Institute of Global Research for Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di program S-3 PSDM Universitas Airlangga-Dok Pribadi-