Konsep pengembangan kota lama dilakukan melalui pendekatan menyeluruh dalam mengelola lanskap kota bersejarah, mengintegrasikan tujuan pelestarian cagar budaya perkotaan, dan tujuan dari pembangunan sosial dan ekonomi.
Pada tataran sosiologis-ekonomis, konsep itu juga melihat cagar budaya perkotaan sebagai modal sosial, budaya, dan ekonomi bagi perkembangan kota. Hal tersebut selaras dengan ”Rekomendasi dalam Lanskap Kota Bersejarah” yang diadopsi dari hasil Sidang Umum UNESCO tahun 2011.
Pendekatan lanskap kota bersejarah bisa bergerak pula di luar pelestarian lingkungan fisik dan berfokus pada seluruh lingkungan manusia dengan semua kualitas benda dan tak bendanya.
Pendekatan itu berusaha untuk meningkatkan keberlanjutan perencanaan dan intervensi desain dengan memperhatikan lingkungan terbangun yang telah ada, warisan budaya tak benda, keragaman budaya, faktor sosial-ekonomi, dan lingkungan bersamaan dengan nilai-nilai masyarakat setempat.
Senapas dengan Undang-Undang Cagar Budaya No 11 Tahun 2010, ”kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang berdekatan dan memperlihatkan ciri tata ruang yang khas”.
Secara implisit, keberadaan kawasan cagar budaya beserta warisan gedung dan bangunan mustahil untuk diubah dan diperluas, terlebih dirombak, tetapi direvitalisasi dengan tujuan meningkatkan potensi nilai ekonomisnya maupun mengeksplorasi nilai historis yang terkandung di dalamnya.
Dengan memperhatikan potensi, kerentanan, integratif, partisipatif publik, prioritas, dan manfaat. Selain itu, perlu dilakukan heritage impact analysis untuk mengidentifikasi potensi ancaman terhadap cagar budaya saat terjadi pengembangan kota yang membawa perubahan pada wilayah (Hilmar Farid, 2021).
Di banyak kota, pendekatan itu telah memiliki hasil yang sangat positif serta menggembirakan. Dalam tiap kondisi setempat, keseimbangan tercapai antara pelestarian serta perlindungan cagar budaya perkotaan, pembangunan ekonomi, fungsi, dan kelayakan huni kota.
Dengan demikian, kebutuhan penduduk saat ini terjawab sambil meningkatkan secara berkelanjutan sumber daya alam dan budaya kota untuk generasi mendatang.
KEPEDULIAN YANG BERKELANJUTAN
Jika ditangani dengan benar, cagar budaya perkotaan akan berperan sebagai katalisator pembangunan sosial-ekonomi melalui pariwisata, perdagangan, dan tanah serta nilai properti yang lebih tinggi.
Dengan demikian, ia mampu menyediakan pendapatan untuk membayar anggaran pemeliharaan seperti perawatan, restorasi, dan rehabilitasi. Wilayah cagar budaya perkotaan menghasilkan imbal hasil yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah tanpa makna budaya-bersejarah.
Lokasi dekat dengan monumen dan situs kelas dunia biasanya menarik komunitas dan sektor jasa dan bisnis kelas atas, yang bersedia membayar lebih untuk lokasi bergengsi. Hal itu tecermin dari nilai lahan dan bangunan.
Bahkan, kota cagar budaya yang masuk Daftar Warisan Dunia (World Heritage Site) memberikan manfaat sosial ekonomi yang sangat signifikan di tingkat lokal dan nasional –tidak hanya melalui pariwisata serta produk dan jasa terkait, tetapi juga melalui fungsi lain.
Sebagai contoh, populasi Salzburg hanya 6 persen dari total populasi Austria, tetapi memberikan kontribusi 25 persen dari pendapatan ekonomi bersih.
Kunci untuk mencapai itu adalah membangun kemitraan yang tangguh dengan sektor swasta yang berkelanjutan (sustainable government-private partnership) dalam mengembangkan konsep konservasi cagar budaya kota bersejarah (laporan berkala UNESCO, 2013).