Rekonstruksi tersebut dapat menghubungkan antara keterangan fakta dan keterangan ahli di antaranya: (1) Keterangan tentang fakta hubungan korban dan terdakwa sebagai pasangan kekasih, serta adanya kekerasan yang berulang. (2) Keterangan tentang fakta bahwa Terdakwa mengendarai mobil dan terdapat korban di sekitar mobil Terdakwa. (3) Keterangan ahli dan visum yang menunjukkan korban mengalami berbagai luka lecet, luka memar, dan hingga luka robek pada hati akibat kekerasan tumpul yang mengakibatkan kematian. (4) Keterangan ahli tentang bahwa kemungkinan adanya gaya setrivugal dan gaya inersiah yang dapat memungkinkan seseorang terbuang, terseret, hingga terpental.
Alat-alat bukti itu tidak menujukkan kebenaran yang berdiri sendiri, melainkan harus dihubungkan satu sama lain untuk memperoleh kebenaran penyebab kematian dari korban Dini Sera Afrianti. Majelis Hakim di sini hanya menyimpulkan meninggalnya korban Dini Sera Afrianti bukan karena Terdakwa yang pada saat mengendarai mobil dan melindas korban Dini Sera Afrianti.
Majelis Hakim bersikap ingnorance. Mengandalkan apa yang dihadirkan persidangan atau bahkan membangun argumentasi penafsiran sedemikian rupa yang berujung untuk pembebasan terhadap Terdakwa.
Lantas yang menjadi pertanyaan besarnya dan selalu mengusik rasa keadilan, siapa yang menyebabkan kematian korban Dini Sera Afrianti, jika menurut Majelis Hakim bukan Terdakwa?
Majelis Hakim sama sekali tidak menyentuh substansi untuk memperoleh kebenaran materiil tentang siapa yang menjadi penyebab kematian korban, jika bukan Terdakwa.
Pemeriksaan perkara ini memang belum selesai. Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan upaya hukum kasasi. Hakim di tingkat Mahkamah Agung tidak boleh luput dari upaya untuk menilai kebenaran materiil, sekalipun perannya sebatas Judex Juris.
Hakim Mahkamah Agung hendaknya bersandar satu adagium berkaitan dengan pemeriksaan perkara apapun yakni Judex herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientiae, ne sit diabolus. Adagium tersebut berarti A judge should have two silts ; the salt of wisdom, lest he be foolish ; and the salt of conscience, lest he be devilish. Seorang hakim harus mempunyai dua hal, suatu kebijaksanaan, kecuali dia adalah orang yang bodoh dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam.
Pemeriksaan perkara pidana yang didasarkan pada kebenaran materiil tentu memerlukan kebijaksanaan dan hati nurani dari Majelis Hakim. Tanpa itu, pengadilan tidak dapat menegakkan keadillan sesuai marwahnya yakni tempat keadilan diperoleh.
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya.--