Para Penerima Beasiswa ITCC ke Tiongkok (1): Wujudkan Cita-Cita Ibu

Sabtu 31-08-2024,14:37 WIB
Reporter : Michael Fredy Yacob
Editor : Noor Arief Prasetyo

Orang tua pasti tidak ingin anaknya punya pengalaman yang sama dengannya. Sehingga, mereka akan memberi support apa pun yang diinginkan anaknya. Termasuk dengan pendidikan.

--

PAGI itu, Iqbal Juwanda sedang duduk santai di ruang rapat Indonesia Tionghoa Culture Centre (ITC Centre), di lantai 14, Gedung Graha Pena Surabaya. Sambil bersandar di kursi, anak pertama dari tiga bersaudara itu menceritakan perjalanan orang tuanya.

Ia bercerita, Edi Nurtono, ayahnya adalah anak pertama dari empat bersaudara. Sehingga, beban sang ayah pun sangatlah berat. Berbekal ijazah S-1 dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mojokerto, ayahnya harus orang tuanya menghidupi ketiga adiknya.

Saat itu, mencari pekerjaan sangat sulit. Apalagi, kampus Edi bukan termasuk jajaran kampus bergengsi di Indonesia. Alhasil, Edi kesulitan mendapat pekerjaan. Karena itu, setelah lulus pun ia memutuskan meninggalkan Malang, tempat tinggalnya, untuk berangkat ke Nunukan, Kalimantan Utara. 

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Konsultan Pendidikan di Indonesia Tionghoa Culture Centre (ITCC) Muhammad Rifaat Afdhally: Bu Huan Ren Zhi Bu Ji Zhi, Huan Bu Zhi Ren

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Konsultan Pendidikan Luar Negeri di ITCC Peni Witjaksono: An Bu Jiu Ban

Di sana, Edi hanya ikut bersama keluarganya. Ia bekerja bekerja di toko percetakan dan fotokopi milik keluarga. “Ayah saya ini bukan dari keluarga berada,” kata Iqbal, kepada Harian Disway, Sabtu, 31 Agustus 2024.

Penghasilan Edi di tempat kerja itu tidak besar. Ia masih kesulitan membiayai hidup ketiga adiknya. Keluarga Edi, pemilik toko percetakan dan fotokopi itu, pun memindahkan Edi ke cabang lain di Tarakan.

Di daerah itu, penghasilan Edi meningkat. Sebab, ia mendapat kepercayaan lebih sebagai kepala toko. “Di kota inilah ayah saya dan ibu bertemu. Setelah menikah, mereka putuskan untuk merintis usaha yang sama dengan om saya. Tapi, rumah masih ngontrak,” bebernya.


Potret Iqbal Juwanda belajar Bahasa Tiongkok di ITCC GrahaPena Surabaya sebelum keberangkatan ke Huangshi, Tiongkok, Jumat, 23 Agustus 2024.-Vincentius Andito-

Kondisi ibu Iqbal: Iis Supiati pun sama. Dia juga bukan dari orang berada. Bahkan, setiap kali berangkat kuliah di Tarakan, Iis harus menggunakan perahu kecil yang muat paling banyak empat orang. Pengemudinya berada di belakang. Di daerah itu, perahu itu disebut ketinting.

“Ibu saya ini sekolah perawat. Setiap hari harus naik ketinting dari rumahnya ke kampus. Bahkan, untuk meringankan beban kakek dan nenek saya membayar biaya kuliah, ibu saya harus bekerja nyuci piring dan masak di tempat orang,” ungkapnya.

Kali ini, Iqbal lebih beruntung. Ia tidak akan merasakan semua penderitaan yang dialami kedua orang tuanya. Ketika akan lulus dari SMA Al Izzah Batu, ia berencana untuk mendaftar Akademi Polisi (Akpol).

Sayang, cita-citanya itu terhenti karena cedera yang ia alami karena basket. Ibunya pun menawarkan ia untuk menjadi dokter. Iqbal setuju. Niat awalnya, Iqbal hanya ingin melanjutkan sekolah tinggi di Indonesia.

Kategori :