Reuni dan Romantisme Politik: Demi Masa Depan Bangsa?

Kamis 10-10-2024,23:06 WIB
Oleh: Muhammad Turhan Yani*

Dalam ilmu sosial untuk penyelesaian konflik (pertentangan dan perselisihan) secara damai, dapat dilakukan melalui tiga acara. Yaitu, penyelesaian konflik, resolusi konflik, dan rekonsiliasi. 

Setiap cara memiliki karakteristik yang berbeda. Bergabungnya dua kekuatan besar pada 2019 yang berkompetisi secara langsung dalam pilpres dua kali lebih tepat disebut rekonsiliasi politik daripada reuni politik. 

Walaupun, dalam ilmu sosial, persyaratan terwujudnya rekonsiliasi itu berat dan kompleks karena menyangkut pertentangan atau perselisihan yang pernah terjadi dalam perpolitikan saat itu.

Persyaratan terwujudnya rekonsiliasi, antara lain, adanya kesediaan menerima dan mengakui kesalahan setiap pihak, memiliki rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik yang dialami bersama, pihak yang berkonflik memiliki keinginan untuk berdamai, dan setiap pihak bersedia mengevaluasi konflik yang dialami. 

Walaupun rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat itu tidak memenuhi keseluruhan persyaratan rekonsiliasi tersebut, dua kekuatan besar itu tetap dapat bersatu. Hal tersebut pun tidak menjadi persoalan demi menjaga keutuhan bangsa.

Sementara itu, wacana bertemunya kembali antara Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih dalam Pilpres 2024 dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri lebih tepat disebut reuni politik daripada rekonsiliasi politik. 

Beberapa petinggi PDI Perjuangan menegaskan bahwa selama ini tidak ada persoalan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Sebab, mereka telah bersahabat lama. 

Apalagi, Puan Maharani, ketua DPR terpilih periode 2024–2029 yang juga putri Megawati Soekarnoputri, mengatakan bahwa keduanya berpeluang bertemu untuk membicarakan masa depan bangsa.

Hal itu berbeda dengan wacana pertemuan secara resmi antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDIP Megawati sampai detik ini yang belum juga terwujud. Berbagai cara dan pihak telah mengupayakan rekonsiliasi, akan tetapi belum ada titik terang sampai masa jabatan Presiden Joko Widodo hendak habis. 

Mengapa rekonsiliasi politik antara Jokowi dan Megawati belum terwujud hingga saat ini? 

Hal yang sama berlaku antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati, sampai saat ini juga belum terwujud rekonsiliasi.

Terkait perselisihan dengan Joko Widodo, PDIP menganggap telah  terjadi pengkhiatan sejak putra Jokowi, yakni Gibran, sebagai kader PDIP saat itu mengikuti kontestasi sebagai cawapres pada Pilpres 2024. 

Padahal, sebelumnya dikonfirmasi tidak akan mencalonkan. Sebaliknya, sebagai warga negara, pihak Gibran berpendapat berhak untuk mencalonkan walaupun secara aturan saat itu menjadi perdebatan karena Gibran belum berumur 40 tahun. 

Padahal, aturan mensyaratkan umur minimal 40 tahun. Akan tetapi, putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai oleh Anwar Usman, paman Gibran, memberikan peluang bagi siapa pun mengikuti pilpres asalkan pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. 

Putusan kontroversial itu memberikan peluang bagi Gibran untuk mengikuti kontestasi. 

Persoalan tersebut kemudian merembet panjang sampai pilpres dan pascapilpres sehingga rekonsiliasi antara Joko Widodo dan Megawati hingga saat ini belum terwujud.

Kategori :