Anda tentu tak akan terima kalau orang lain menyakiti Anda. Tapi, Anda bisa jadi tak merasa atau bahkan menganggap biasa kata-kata Anda yang menyakiti orang lain dan Anda ogah meminta maaf sekalipun misal diminta.
Ya, manusia memang tidak sedikit yang begitu: egois. Ia hanya ingin dimengerti tanpa mau mengerti orang lain.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan President Director PT Bayan Resources Tbk Datuk Low Tuck Kwong: Di Xing Li Ming
Padahal, sejak ribuan tahun kala, filsuf besar Konfusius telah mengingatkan kita, "己所不欲,勿施于人" (jǐ suǒ bù yù, wù shī yú rén): apa yang tidak engkau kehendaki orang lain lakukan pada dirimu, jangan lakukan pada orang lain. "Don't do unto others what you don't want done unto you," kata Asti Lukita, menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
Misalnya, Asti yang Miss Indonesia Jawa Tengah 2011 dan presenter TV mencontohkan, "Kita tidak berkata yang kita sendiri tidak suka mendengarnya jika orang lain mengatakannya kepada kita. Demikian pula dengan perbuatan."
Kelihatannya sederhana, namun penerapan prinsip ini sama sekali tidak mudah. Sebab, itu adalah panggilan untuk senantiasa melakukan introspeksi akan setiap tindakan kita yang, lantaran kita merupakan makhluk sosial, sedikit banyak pasti akan membawa dampak pada orang lain. Sementara, banyak orang kesulitan melihat dunia dari perspektif orang lain, terutama ketika perbedaan nilai dan kepentingan sangat tajam.
Di media sosial kita, umpamanya, komentar atau unggahan kita yang tidak sensitif acap kali melukai perasaan orang lain. Meskipun niatnya mungkin tidak buruk, kurangnya empati dan kesadaran dapat menyebabkan konflik tak berkesudahan setelahnya.
Makanya, ajaran Jawa mengajarkan kita untuk bisa "tepo seliro", tenggang rasa, supaya bisa saling merasakan perasaan masing-masing. Dalam artian, seperti diajarkan pula dalam kitab Zeng Guang Xian Wen (增广贤文), "Selain harus tahu diri, juga harus tahu orang lain. Posisikan hati orang lain pada hati kita sebelum melakukan tindakan" (知己知彼,将心比心 zhī jǐ zhī bǐ, jiāng xīn bǐ xīn). (*)