PILKADA Jawa Timur 27 November 2024 kali ini tergolong monumental. Tahun ini semua cagub (tiga-tiganya) adalah perempuan. Semuanya memakai hijab!
Selain merepresentasikan kesetaraan gender secara umum, hal tersebut mencerminkan karakteristik penduduk Jatim yang tidak alergi terhadap kepemimpinan perempuan.
Lalu, apa yang bisa kita baca dari keunggulan Khofifah menurut hitung cepat saat ini? Terlepas dari unsur petahana atau tidak, adakah hijab menjadi penanda dan afiliasi politik yang mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan ketiga cagub?
BACA JUGA:Hijab dan Kado di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
BACA JUGA:Tersangka Mendadak Berhijab
Lebih dari sekadar mode, pilihan gaya hijab para cagub Jatim tahun ini juga mengandung pesan-pesan simbolis yang bisa jadi turut memengaruhi bagaimana setiap kandidat gubernur dipersepsikan oleh para pemilih.
Di Indonesia, selain sebagai cermin kesalehan pribadi, berhijab dapat mengisyaratkan status sosial, identitas budaya, dan bahkan preferensi politik seseorang.
Dalam teori komunikasi Stuart Hall, pesan seorang kandidat bisa ditafsirkan secara dominan (sesuai maksud pengirim/dominant reading), dinegosiasi (sebagian diterima/negotiated reading), atau ditolak (berlawanan/ oppositional reading).
BACA JUGA:Kebaya vs Hijab
BACA JUGA:Ghaliaa Chaker, Penyanyi Berhijab yang Menginspirasi
Gaya hijab tiga kandidat Jatim pun membawa pesan yang didekode secara beragam oleh para pemilih.
GAYA HIJAB TURBAN ALA LULUK
Luluk Nur Hamidah, legislator dan aktivis, dikenal dengan hijab turban yang modern dan kosmopolitan. Gaya itu merefleksikan isu-isu progresif yang dia usung. Misalnya, pemberdayaan perempuan dan lingkungan.
Pada proses enkode, hijab turban Luluk ditujukan untuk menandakan keselarasan dengan kelompok muslim progresif, khususnya perempuan kelas menengah dan pemilih muda yang menghargai individualitas dan tren mode Islami.
BACA JUGA:Heru Budi Pastikan Paskibraka Putri Tetap menggunakan Hijab Saat bertugas di IKN