Kelebihannya, beasiswa ini all cover. Penerima beasiswa seperti saya mendapatkan tempat tinggal, makan dua kali sehari, tiket pesawat PP, kelas bahasa satu tahun, dan uang saku setiap bulan. Penerima beasiswa diwajibkan mengikuti kelas bahasa Turkiye selama satu tahun. Sekarang pun saya sedang menjalani kelas terakhir untuk kelas bahasa itu.
Pada Agustus 2024, kabar gembira itu datang. Ada pengumuman yang menyatakan saya lolos menjadi penerima beasiswa. Memilih beberapa kampus di Istanbul dan Ankara, saya beruntung bisa diterima kampus di Provinsi Nevsehir, tepat di jantung Cappadocia.
Bersama para mahasiswa internasional di kelas bahasa Turkiye.--
Setelah mendapat kabar itu, saya memutuskan berhenti dari pekerjaan lama di Kemenko Perekonomian. Sebab saya belum bisa menjalani tugas belajar. Di titik inilah saya sebenarnya merasa berat melepaskan pekerjaan dan zona nyaman di Jakarta. Namun, untuk alasan pendidikan, saya memilih mengambil tantangan ini.
Selama proses hingga keberangkatan ke Turkiye, saya habiskan waktu bersama istri dan keluarga. Maklum, perantauan kali ini membuat saya pergi lebih jauh lagi. Terutama karena harus berjauhan dengan istri dan keluarga. Sungguh hal yang tidak mudah.
Hari keberangkatan ke Turkiye itu tiba. Pada 8 Oktober 2024. Sungguh tak terbayangkan. Antara sedih dan senang. Hanya sebentar menapakkan kaki di Istanbul, saya langsung melanjutkan penerbangan ke Nevsehir yang hanya ditempuh selama 1,5 jam.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (2): Di Antara Benang dan Kata
Oh ya, selain istri, saya diantar di Bandara Juanda oleh orang tua. Tentu saja, kami menyempatkan berfoto bersama. Ternyata, itulah momen terakhir berfoto dengan almarhum ayah saya, Yusuf Karaman.
Bersama kedua orang tua saat diantar ke Bandara Juanda. Foto terakhir Yunaz dengan ayahnya (kanan).--
Selain beliau, selama merantau saya beberapa kali saya kehilangan orang-orang terdekat. Terhitung, mulai dari Maret-April 2024, nenek dan ayah mertua saya meninggal. Semua itu membuat perantauan saya menjadi lebih berat lagi. Tentu karena saya tidak menginginkan itu terjadi. Namun, itulah risiko yang harus dihadapi.
Tapi saya ibaratkan, dari jendela Cappadocia, saya bertekad terus belajar untuk lebih baik menjadi seorang suami, anak, pelajar, dan perantau yang akan kembali ke negeri sendiri membaktikan ilmu yang saya dapatkan.
Suasana kelas bahasa Turkiye yang diikuti Yunaz Karaman (kiri) dengan para penerima beasiswa yang lain.--
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris
Meskipun inilah my dream come true, tapi jujur, dua bulan pertama di Nevsehir boleh dikata waktu yang sangat sulit untuk saya. Pertama, saya dihadapkan dengan masalah komunikasi. Mengingat tidak semua orang bisa berbahasa Inggris. Apalagi masalah lidah. Makanan di Turkiye sangatlah berbeda. (*)
Yunaz Karaman--