Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (16): Hidup Slow Living dan Peacefulness

Di jembatan Isoisansilta, bersepeda bersama istri dan anak, menuju Pulau Lammasari. Bukti bahwa jalur bersepeda diperhatikan.--Mushonnifun Faiz S
HARIAN DISWAY - Kota Helsinki didesain begitu sistematis. Misal, di area pemukiman, pasti terkoneksi dengan minimal satu jenis transportasi publik, daycare dan area sekolah anak, minimarket, area hijau atau taman bermain. Bahkan kota ini sudah memiliki masterplan sampai 2050.
Setelah kurang lebih sekitar sebulan tinggal di Helsinki, saya bertanya kepada istri, apa hal yang paling disyukurinya? Dia menjawab tiga hal: “Udara yang bersih, langit yang jernih, serta air kran yang bisa diminum”.
Saya sepakat. Hal-hal tadi mungkin hanya sebagian kecil dari aspek sustainability urban design dari kota ini.
Ketika mendapatkan S3 di ibu kota negara, Helsinki, waktu itu saya sempat khawatir. Ya, sebab saya dulu menyelesaikan S2 di Lund, desa kecil di Swedia yang tenang, banyak hutan, serta suasana yang betul-betul kota pelajar.
Berjalan di daerah Hakaniemi. Terdapat Bike Station yang bisa disewa dan berlangganan tiap bulan. Di Helsinki, banyak tempat transit Bike Station.--Mushonnifun Faiz S
BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (7): Melintasi Singapura dan Turki
Saya pernah ketika S2 dulu menjelajah Stockholm dan Copenhagen. Khususnya Stockholm. Kotanya didesain cantik. Tapi saya merasa ketika jam kerja, suasananya terlalu ramai. Termasuk stasiun kereta yang waktu itu saya masih ingat berasa di stasiun KRL. Bayangan saya tentang Helsinki waktu itu kurang lebih sama.
Namun, itu salah. Kota ini memang ibu kota negara. Tapi begitu bersih, tenang, dan teratur. Seolah kota ini “bernapas” dengan ritme berbeda. Orang-orang berjalan tanpa tergesa, di jam ramai saya bisa “bernapas” dengan lapang. Itulah mengapa hidup di Finlandia dikenal dengan “slow living” dan “peacefulness”. Bahkan itu di ibu kota negara sekalipun.
Maka tak salah, jika pada 2024, Helsinki dinobatkan sebagai The Most Sustainable Travel Destination oleh Global Destination Sustainability (GDS) Movement, karena memiliki GDS Index tertinggi dibanding kota-kota lain di dunia. Indeks ini diukur dengan mempertimbangkan aspek pengelolaan lingkungan, sosial, serta aspek pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.
Rata-rata Indeks Kualitas Udara di Helsinki ada di angka 20-an. Sangat jauh dengan di kampung halaman saya di Malang yang rata-rata di angka 70 atau kota tempat saya bekerja di Surabaya yang rata-rata 80-100 lebih.
BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (8): Adaptasi ala Negara Nordik
Hal ini tak terlepas lagi-lagi dari perencanaan yang matang. Melalui Air Quality and Noise Abatement Plan (ILME) untuk 2024-2029. Terdapat sepuluh objektif yang diukur dengan 40 indikator. Intinya, untuk mengurangi debu di jalanan dan emisi dari pembakaran kayu skala kecil dan mengurangi kebisingan di lalu lintas.
Saya tinggal di Arabia yang termasuk Zona A. Dekat dengan city center. Hanya sekitar 20 menit naik transportasi publik. Bayangan saya yang jika tinggal di dekat tengah kota, adalah ramai, tapi itu justru sebaliknya.
Ruang terbuka begitu menyatu dengan kehidupan. Hutan atau taman bukan tempat yang jauh. Ia bisa dicapai dengan berjalan kaki, atau naik transportasi publik. Ia bisa ada di belakang rumah, di samping sekolah, bahkan di tengah kota.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: