Sebelum menjalani uji DNA, si ayah kepada ICS mengatakan cuma penasaran. Apa pun hasil tes kelak, sang ayah tetap akan mencintai tiga anak tersebut. Tetapi, ia tidak dapat membendung hasrat membara untuk menemukan kebenaran.
Uji DNA pun dilaksanakan di ICS.
Sang ayah memberikan tiga sampel botol bir kepada ICS. Sebuah usapan pipi DNA (alat pengumpul air liur oral DNA) dari klien yang memberikan sampel yang dibutuhkan untuk membandingkan sang ayah dengan anak-anaknya.
Tiga tes air liur oral diambil dari botol bir, tetapi DNA tersebut sangat sulit diperoleh. Pun, setelah didapat, tidak memberikan hasil.
Sang ayah diberi tahu pihak ICS, ia memiliki kemungkinan lain untuk menemukan DNA. Banyak cara, antara lain, wadah ludah, pisau cukur, sisir rambut, pakaian dalam, puntung rokok, folikel rambut yang akarnya masih utuh (panjangnya 4 hingga 6 inci), permen karet, sedotan yang mungkin telah dikunyah, atau perban yang berlumur darah meski sudah kering.
Ayah kemudian memberikan dua cangkir plastik berisi tembakau kunyah dari dua putranya, nomor satu dan dua. Juga, sedotan kunyah dari putranya yang ketiga. Semuanya diberikan kepada detektif swasta di ICS.
Uji paternitas DNA dilakukan sekali lagi, menggunakan barang-barang tersebut.
Hasilnya: DNA pada kedua gelas ludah plastik dianalisis dan hasilnya menunjukkan peluang 99,9858 persen sebagai anak dari sang ayah. Lantas, DNA di sedotan yang dikunyah anak nomor tiga juga menunjukkan hasil sama.
Setelah itu, sang ayah merasa puas. Ia mengunjungi makam istrinya dan meletakkan karangan bunga.
Di kasus Anniyah, sebenarnya polisi bisa saja tidak mengumumkan hal tersebut. Sebab, pengumuman itu mengusik banyak orang, terutama keluarga korban. Menyangkut moralitas korban. Kalau pelaku, moralnya memang jelek.
Sebaliknya, keluarga korban mengatakan kepada pers ketika Anniyah dimakamkan di Desa Sukosari, Lumajang, Jatim, Jumat, 17 Januari 2025: ”Keluarga berharap, pelaku dihukum berat.” Jadilah, fakta itu diungkap. (*)