Lalu, sektor perkebunan, laut, perikanan, dan hutan memiliki potensi investasi mencapai USD 50,6 miliar (Rp 784,3 triliun). Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa hilirisasi akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, tanpa industrialisasi, apakah hilirisasi mampu mendongkrak pertumbuhan mencapai target 8 persen yang jadi target pemerintah? Hal itu mengingat selama lebih dari dua dekade, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 5 persen.
URGENSI REFORMASI BIROKRASI PERIZINAN
Ambisi pemerintah memburu target pertumbuhan ekonomi 8 persen sepertinya tidak main-main.
Dengan membentuk lembaga baru, yaitu BPI Danantara, sebuah lembaga yang mengorkestrasi dana superjumbo hasil patungan sejumlah BUMN strategis, seakan menjadi booster dalam mengakselerasi target pertumbuhan tersebut.
Akan tetapi, pemerintah juga seharusnya menyadari bahwa derasnya arus investasi yang masuk bukan melulu persoalan besaran angka investasi.
Tetapi, juga perlu mempertimbangkan aspek kemudahan birokrasi yang menjadi elemen penting dalam membangun iklim investasi. Dengan begitu, investor merasa nyaman menanamkan uangnya.
Salah satu indikator yang merepresentasikan aspek kenyamanan dan kemudahan dalam berinvestasi adalah ease of doing business (EoDB).
Berdasar laporan Bank Dunia perihal EoDB, peringkat EoDB Indonesia sampai detik ini belum mampu melampaui Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Pada 2020 Malaysia menjadi negara dengan peringkat tertinggi jika dibandingkan dengan empat negara lainnya, yakni berada di posisi ke-12.
Thailand berada di posisi ke-21, Vietnam berada di posisi ke-70, Indonesia di posisi ke-73, dan Filipina berada di posisi ke-95.
Kemudian, berdasar aspek penilaian, Malaysia menjadi juaranya, khususnya dalam hal menangani izin konstruksi dan melindungi investor minoritas dengan masing-masing berada di peringkat kedua secara global.
Malaysia menyederhanakan proses pengurusan izin konstruksi dengan menghapus inspeksi jalan dan drainase yang dilakukan Dewan Kota Kuala Lumpur.
Indeks kemudahan berbisnis disusun Bank Dunia dengan menggunakan puluhan indikator.
Salah satunya adalah indikator kemudahan memulai usaha yang diukur dari prosedur pengurusan izin usaha, lama waktu, biaya, serta modal minimum yang diperlukan untuk mendirikan usaha legal di tiap negara
Ada pula indikator terkait kemudahan izin konstruksi, akses listrik, pengurusan legalitas properti, fasilitas kredit, perpajakan, prosedur ekspor-impor, sampai perlindungan hukum terhadap investor yang memiliki saham minoritas.