Menggugat Independensi BPI Danantara

Selasa 11-03-2025,06:33 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Kenapa publik meragukan independensi Danantara? Sebab, sebagian besar pengawas dan penasihat merupakan menteri dan pribadi-pribadi tim kampanye atau pendukung Prabowo saat Pilpres 2024. 

Dengan pengangkatan tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang kuat dalam politik dan bisnis di lingkaran kekuasaan, ada kekhawatiran bahwa Danantara akan lebih melayani kepentingan elite tertentu ketimbang menjalankan mandatnya sebagai pengelola investasi nasional yang transparan dan akuntabel. 

Jika aspek profesionalitas diabaikan, hal itu bisa mengarah pada konflik kepentingan, terutama ketika keputusan investasi harus dibuat berdasar analisis bisnis murni, bukan pertimbangan politis. 

Terlebih, dalam konteks pengelolaan investasi negara, independensi adalah faktor kunci dalam memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan publik, bukan hanya untuk menguntungkan kelompok tertentu.

Publik sangat berharap agar BPI Danantara harus bisa jadi lebih baik daripada Temasek milik Singapura dan Khazanah yang diinisiasi Malaysia. 

Syaratnya, Danantara dikelola independen dan bebas campur tangan politik. Tidak mengejutkan terdapat sejumlah keraguan terhadap independensi Danantara jika mengamati figur-figur yang menempati pos kepengurusannya. 

Pertama, salah satu isu yang mengemuka adalah mekanisme kontrol pemerintah terhadap Danantara yang memunculkan kekhawatiran bahwa dominasi pemerintah dalam struktur itu dapat mengurangi independensi Danantara sebagai badan investasi yang murni profesional. 

Jika pengelolaannya terlalu terpengaruh oleh keputusan politik jangka pendek, dikhawatirkan Danantara akan sulit menjalankan misi jangka panjangnya sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. 

Kedua, ada kekhawatiran Danantara akan dikelola seperti ”Kementerian BUMN jilid dua”, yakni intervensi politik terlalu besar dan pengambilan keputusan lebih banyak didasarkan pada kepentingan populis. Maka, bukannya menjadi solusi, badan itu bisa berubah menjadi beban baru bagi negara. 

Ketiga, karena Danantara dibentuk sebagai lembaga yang berada langsung di bawah presiden, indikasi itu sangat jelas mencerminkan adanya kekuasaan kelembagaan yang sangat powerful dengan minim pengawasan. 

Dalam aturan kelembagaan yang ada, Danantara tidak tunduk pada mekanisme akuntabilitas yang sama dengan BUMN pada umumnya. Bahkan, dalam undang-undang yang mengatur badan itu, disebutkan bahwa kerugian yang dialami Danantara tidak akan dianggap sebagai kerugian negara. 

Keempat, isu lain yang tak kalah pentingnya ialah keberadaan Danantara sangat dikhawatirkan akan mendisrupsi peran investasi swasta. Ada kecemasan bahwa dengan adanya Danantara, investasi swasta di sektor-sektor strategis akan terpinggirkan. 

Itulah yang dikenal sebagai efek crowding out, yaitu kehadiran badan investasi milik negara yang besar justru membuat modal swasta sulit masuk dan bersaing. 

Jika Danantara terlalu agresif mengambil proyek-proyek investasi yang seharusnya bisa dilakukan swasta, maka, bukannya mendorong pertumbuhan ekonomi, badan itu bisa mendistorsi pasar. Ujungnya, lembaga tersebut justru bisa menghambat dinamika pertumbuhan ekonomi. 

Dengan mandat besar yang diberikan, lembaga itu memiliki kewenangan untuk mengelola dana dalam jumlah superjumbo, baik dari sektor publik maupun swasta. Namun, transparansi dan independensi dalam pengelolaan dana itu masih menjadi pertanyaan besar. 

Banyak yang menilai bahwa mekanisme pelaporan yang digunakan Danantara masih kurang transparan sehingga memicu kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan dana atau praktik korupsi yang dapat merugikan kepentingan publik. (*)

Kategori :