Hanya Moeldoko loyalis kelas berat Jokowi yang tidak ditampung Prabowo. Kalau kita selusuri jejak ke belakang, kubu Prabowo dan kubu Jokowi pernah berebut HKTI.
Moeldoko, kepala staf presiden era Jokowi, juga punya jejak merebut Partai Demokrat. Sementara itu, SBY sekarang bagian dari koalisi pendukung Prabowo. Jadi, bisa dipahami bila Moeldoko sekarang tidak bergabung di kabinet.
Moeldoko boleh terlewatkan. Secara overall, pengaruh Jokowi di kabinet Prabowo sangat terasa. Juga, kalau kita bandingkan jabatan yang diperoleh PSI dan Partai Gelora. Kedua partai itu mendukung Prabowo-Gibran sejak awal. Sama-sama berkeringat.
Keduanya juga seimbang dalam perolehan suara pemilu, sama-sama mendapat suara di bawah 4 persen di tingkat nasional.
Namun, dividen politik yang mereka terima berbeda. PSI yang mengumumkan diri sebagai partai milik Jokowi mendapat 1 menteri dan 2 wamen. Yakni, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Wakil Menteri Kebudayaan Giring ”Nidji”, serta Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Indonesia Isyana Bagoes Oka.
Di sisi lain, Gelora hanya kebagian dua wakil menteri. Yaitu, Wakil Menteri Luar Negeri Anies Matta serta Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah.
Menteri Geng Solo itu tak hanya saat Lebaran sowan ke Jokowi. Misalnya, Menkop Budi Arie yang meluncur ke Solo beberapa saat setelah dilantik Prabowo.
Meski begitu, di empat posisi strategis, Prabowo menempatkan orang-orang kepercayaannya. Yakni, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Kepala BIN Muhammad Herindra, Kepala Staf Presiden A.M. Putranto, dan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy.
Empat jabatan itu adalah mata dan telinga presiden. Juga, tangan kanan presiden. Mereka pun selalu berada di sekitar presiden. Di lingkaran istana.
Kalau banyak yang mempersoalkan ”Matahari Kembar”, bukankah Prabowo sendiri juga Geng Solo? Artinya, Prabowo juga mengaku sebagai penerus Jokowi. Saat di acara Gerindra pun, Prabowo lantang nan menggelegar berteriak ”Hidup Jokowi”.
Lantas, mengapa ada publik yang risau? Mungkin begini jawabannya. Ya, apa artinya menolak mati-matian tiga periode kalau yang mengendalikan kekuasaan tetap dari Solo. (*)