Menggugah Esensi Kemerdekaan Tanah Adat

Menggugah Esensi Kemerdekaan Tanah Adat

ILUSTRASI Menggugah Esensi Kemerdekaan Tanah Adat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KEMERDEKAAN Indonesia tak hanya dimaknai sebagai bebas dari penjajahan politik, tetapi juga hak rakyat untuk menguasai, mengelola, dan mempertahankan tanahnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, hak tersebut makin terancam oleh pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) yang diusung pemerintah. 

Bukannya meningkatkan kesejahteraan, banyak proyek yang justru memicu konflik agraria yang mengorbankan ruang hidup masyarakat.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sejak 2020 hingga 2023, terdapat setidaknya 115 konflik agraria yang disebabkan PSN, mencakup wilayah seluas 516.409 hektare dan berdampak pada 85.555 kepala keluarga (Lailatul, 2024). 

BACA JUGA:Ekspedisi Arjuno IKA dan Wanala Unair: Mensyukuri Kemerdekaan, Melestarikan Lingkungan

BACA JUGA:Jangan Takut pada One Piece: Rayakan Kreativitas dalam Semangat Kemerdekaan

Bahkan, pada 2021, sekitar 50 persen pengadaan lahan untuk PSN diwarnai sengketa tanah antara masyarakat dan pemerintah atau korporasi (Republika, 2022). 

Hal itu disinyalir disebabkan oleh kebijakan proyek strategis nasional yang kerap kali mendegradasi hak atas tanah dan ruang hidup bagi masyarakat daerah, terlebih ketika kemudian memantik bencana ekologi. 

Konflik tanah kerap berkelindan dengan bencana ekologi. Dari banjir bandang di Kalimantan hingga longsor di Sumatera, sebagian besar disebabkan oleh hilangnya tutupan hutan akibat perkebunan dan tambang. 

BACA JUGA:Refleksi Program Blue Economy di Hari Kemerdekaan

BACA JUGA:Kemerdekaan Perempuan Indonesia

Bencana itu bukan sekadar fenomena alam, melainkan juga akibat dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekosistem. 

Peraturan presiden tentang percepatan pelaksanaan PSN melahirkan lembaga-lembaga otoritatif seperti Otorita Ibu Kota Nusantara dan Bank Tanah yang memiliki kewenangan luas dalam pengadaan tanah. 

KPA menilai, keberadaan lembaga-lembaga itu menciptakan ”negara dalam negara” yang berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan memperparah ketimpangan penguasaan tanah (Kompas.com, 2023).

Komunitas adat Laman Kinipan, yang mendiami wilayah Karakteristik kin, telah mengalami penggusuran atas 1.700 hektare wilayah adat mereka oleh PT Sawit Mandiri Lestari (SML) –meski tanpa persetujuan mereka (Save Our Borneo, 2023; Hutanhujan.org, 2020). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: