Mutilasi Korban Hidup di Serang, Banten

Senin 21-04-2025,11:25 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Yusuf Ridho

Juga, Edmund Kemper, pembunuh 10 perempuan di AS. Diulas, Kemper sudah membayangkan pembunuhan massal dan pemenggalan kepala sejak usia muda. Katanya, itu akibat penghinaan terus-menerus yang ia alami dari ibunya. 

Ketika ayahnya pergi (bercerai), ia tidak punya penyangga. Ia benci karena dikatakan pecundang. Ketika berusia 15 tahun, ia merasa ditolak kedua orang tuanya. Ia menembak kakek-nenek dari pihak ayah setelah nenek mengomelinya. Ia dikirim ke RSJ, tetapi pura-pura sembuh sehingga dibebaskan.

Setelah bebas, ia menjemput mahasiswi yang menumpang mobilnya di Santa Cruz. Lalu, ia membunuh mahasiswi itu, memotong-motong, dan melakukan tindakan nekrofilik. 

Kemper kemudian memenggal kepala ibunya, menyalahkannya sebagai alasan utama hidupnya menjadi salah. Ia kini berusia 76 tahun, menjalani hukuman penjara seumur hidup.

Psychology Today mengutip hasil riset dokter ahli saraf Kent A. Kiehl, penulis buku The Psychopath Whisperer: The Science of Those Without Conscience (2015). Kiehl mengevaluasi Christopher Gribble yang berusia 19 tahun setelah jadi pembunuh. Dijelaskan begini:

Pada 2009 di New Hampshire, AS, Gribble mengikuti temannya, Steven Spader, dan dua orang lainnya ke rumah Kimberly Cates. Spader membunuh Kimberly Cates dengan parang, sedangkan Gribble menikam putri Cates, Jamie, 11 tahun. Jamie berpura-pura mati sehingga lolos dari maut. Para pelaku ditangkap keesokan harinya.

Saat perkara disidangkan, kuasa hukum Gribble meminta Kiehl untuk memeriksanya. Kiehl adalah pelopor pemindaian otak para psikopat. Sedangkan Gribble mengaku dirinya psikopat.

Gribble, saat ditangkap polisi, tidak menyesal. Malah puas. Tapi, ia menyesal karena korbannya (Jamie) tidak mati.

Kiehl memeriksa kejiwaan Gribble.

Kiehl: ”Ia mengatakan bahwa psikolog lain telah mengujinya dengan MMPI-2 dan mendiagnosisnya sebagai psikopat. Entah ini kesalahan atau Gribble salah paham. Ternyata Gribble telah memutuskan untuk menjadi psikopat. Ia mengasah label negatif ini.”

Setelah melakukan evaluasi, Kiehl mendapati Gribble yang bersekolah di rumah telah menjalani kehidupan yang terlindungi di rumah tangga yang taat beragama Mormon. IQ rendah. Ia sering dilecehkan anak lain. Juga, oleh ortunya. Mungkin, maksud ortunya, agar Gribble bisa jadi lebih pintar.

Kiehl: ”Rasanya seperti berbicara dengan anak usia 10 tahun. Ia memiliki pengalaman sosial yang terbatas. Ia berkonflik dengan ibunya dan ia berbicara tentang membunuhnya, tetapi tidak pernah melakukannya.”

Kiehl menilai, Gribble, meski berusia dewasa, psikologisnya belum dewasa. Ia mudah dipengaruhi orang, ia berteman dengan orang yang salah, Steven Spader, yang tahu bahwa Gribble berkarakter lemah, akhirnya diajak jadi pembunuh.

Kiehl: ”Gribble rapuh. Anda dapat menanamkan ide ke dalam pikiran orang rapuh dan membuat mereka melakukan apa saja. Keyakinannya bahwa ia seorang psikopat adalah delusi.”

Kesimpulan Kiehl: ”Tidak semua anak yang menjadi sasaran penghinaan mengembangkan pikiran bersifat membunuh. Tetapi, mereka yang mengalaminya berpotensi kerusakan yang melampaui individu yang terkena dampaknya.”

Jadi, masa kanak-kanak yang dilecehkan bisa membentuk jadi pembunuh, tapi tidak selalu begitu.

Kategori :