Tengkulak dan kartel pembeli kadang masih ada yang bermain harga. Petani merasa tidak memiliki posisi tawar. Itu masih menjadi masalah klasik yang belum mampu dibereskan.
Meski penerimaan cukai rokok dari Jawa Timur adalah yang terbesar di Indonesia, beberapa petani menimpali, ”Ya, pendapatan cukai memang tinggi, tetapi nasib kami tetap rendah.”
Uangkapan tersebut saya tulis sebagai pesan titipan petani. Mereka juga tahu bahwa setiap tahun cukai hasil tembakau selalu mengalami peningkatan. Hal itu bisa dilihat dari dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT) terbesar di Indonesia.
Pada tahun 2024 saja, DBH CHT yang diterima Pemprov Jawa Timur mencapai Rp 2,77 triliun atau 55,73 persen dari total DBH CHT nasional.
Meski begitu, untuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT), petani sering kali hanya kebagian sisa.
Sejak 2020, Pamekasan dan Sumenep mendapat kucuran DBHCHT miliaran rupiah tiap tahun. Sebagian besar dialokasikan untuk pengawasan rokok ilegal atau program kesehatan, bukan secara langsung masuk kantong petani yang menanam tembakaunya.
Celah itu membuat kesejahteraan petani tetap terasa jalan di tempat. Padahal, kalau kita ambil satu contoh saja berdasarkan data dari Dinas Pertanian Sumenep, sekitar 21.000 hektare lahan pada tahun 2024 digunakan untuk penanaman tembakau.
Para petani berharap kepada pemerintah tentang kebijakan yang lebih membumi. Ini persoalan keberpihakan.
Sebagian mereka berharap ada solusi berupa pembentukan koperasi petani tembakau berbasis desa. Apalagi, jika program unggulan Presiden Prabowo Subianto segera realisasi dengan Koperasi Desa Merah Putih. Mereka punya keinginan memutus ketergantungan kepada tengkulak.
Saya juga catat pesan dari petani tembakau tentang pemanfaatan ”DBHCHT” dianggap kurang tepat sasaran. Pembangunan gudang penyimpanan tembakau, alat pengering, dan pelatihan pascapanen. Bagi petani, program itu belum bisa dirasakan manfaatnya.
Ditambah lagi dengan penggunaan DBHCHT yang tidak transparan. Di tengah isu kesehatan yang makin kencang menekan industri rokok, posisi petani tembakau makin terjepit. Bagi petani, jika konsumsi rokok dikendalikan, diversifikasi komoditas dan perlindungan sosial bagi petani menjadi hal wajib.
Terakhir, saya ingin berpendapat tentang pentingnya keadilan untuk mereka yang menghidupi negeri. Petani tembakau Madura bukan pencari rokok, mereka pencari nafkah. Mereka bukan produsen racun, melainkan penyedia bahan mentah yang menopang ekonomi negara.
Ketika negara memetik manisnya cukai, sudah seharusnya petani di ujung kebijakan juga merasakan manisnya hasil kerja keras mereka.
Keadilan fiskal bukan hanya soal pembagian dana, melainkan soal memastikan bahwa setiap orang yang ikut menghidupi negeri ini –termasuk petani tembakau Madura– tidak ditinggalkan di barisan belakang.
Harapannya, masyarakat Madura bisa sejahtera dengan ”tambang emas versi mereka sendiri”. (*)
*) Farid Makruf adalah tenaga pengkaji Lemhannas RI.