Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022 mencatat, lebih dari 700 ribu orang per tahun meninggal karena bunuh diri. Bahkan, WHO menyebutkan, penyebab kematian terbesar keempat kelompok di rentang usia 15–29 tahun adalah bunuh diri.
Selanjutnya, secara detail WHO memaparkan bahwa 77 persen kasus bunuh diri global terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.
Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS, 2023) melaporkan, satu di antara tiga anak remaja memiliki masalah kesehatan mental.
I-NAMHS pun menyajikan data, sejak Oktober 2022, satu di antara dua puluh remaja Indonesia mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Dari jumlah tersebut, hanya 2,6 persen yang menggunakan fasilitas kesehatan mental atau bimbingan konseling.
Selain itu, terdapat hasil temuan lain, pada saat pandemi Covid-19 merebak, satu di antara dua puluh remaja merasakan kondisi depresi, cemas, kesepian, dan sulit untuk berkonsentrasi.
Survei lain yang dilaksanakan konsultan akuntansi dan keuangan raksasa, Deloitte (2023), menyajikan data, tekanan psikis yang dialami gen Z di tempat kerja sebesar 46 persen dan milenial 39 persen.
Kemudian, tertekan dan lelah karena pekerjaan juga diderita gen Z 52 persen dan milenial 49 persen. Sebanyak 44 persen gen Z dan 35 persen milenial sangat mencemaskan terhadap kondisi ekonomi yang dialami.
Faktor perasaan khawatir dihantui akan menganggur setelah studi dialami gen Z sebesar 22 persen dan generasi milenial 20 persen. Hasil survei juga menunjukkan, gen Z 52 persen dan milenial 51 persen merasa makin sulit bersaing atau kecil kemungkinan mendapatkan pekerjaan baru selepas menamatkan pendidikan.
PENGEMBANGAN SDM
Bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia, Indonesia relatif terlambat memasuki momentum bonus demografi. Kita tengok Tiongkok, negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan baik di akhir abad ke-20.
Tiongkok mengalami lonjakan signifikan dalam jumlah penduduk usia produktif akibat kebijakan satu anak yang diberlakukan sejak 1979. Pertumbuhan tenaga kerja di usia emas ditambah dengan reformasi ekonomi yang dimulai pada 1980-an menjadikan Tiongkok sebagai pusat manufaktur dunia.
Kemudian, disusul Korea Selatan mengalami bonus demografi pada 1960-an hingga 1990-an. Pemerintah Korea Selatan mengambil langkah-langkah signifikan untuk memanfaatkan fenomena itu dengan berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan dan infrastruktur.
Penduduk usia produktif yang terdidik dan terampil menjadi pendorong utama industrialisasi cepat di negara itu.
Korea Selatan berubah dari negara berkembang menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia dalam waktu relatif cepat, terutama di sektor industri teknologi dan otomotif yang sejajar dengan kelompok negara G-7.
Dalam konteks itu, dibutuhkan strategi pengembangan SDM yang memungkinkan generasi digital memiliki bekal yang cukup sehingga tidak menambah antrean panjang daftar pengangguran.
Adapun bekal yang diperlukan meliputi skill berdimensi kontemporer, skill entrepreneur, daya inovasi, nalar kritis, nalar etis, kreativitas, spiritualitas, dan karakter bangsa.