Tiga orang itu Kentus, Monyol, dan Mantri. Mereka dari Yogyakarta, mendatangi kantor LBH Jakarta di Jalan Diponegoro Nomor 74 Jakarta, minta perlindungan karena dikejar tentara dari Garnisun Yogyakarta.
Di koran itu disebut ucapan Monyol: ”Menyerahkan diri belum tentu selamat. Tidak menyerahkan diri dianggap melarikan diri dan sewaktu-waktu bisa tertembak. Itulah sebabnya, mereka meminta perlindungan ke LBH Jakarta.”
Mantri mencontohkan, ada seseorang yang menyerahkan diri, tapi akhirnya juga ditembak mati karena dituduh mau kabur ketika digelandang ke Kodim 2734.
”Kan aneh kalau orang yang menyerahkan diri berubah menjadi melarikan diri dalam perjalanan,” kata Mantri saat itu.
Kepada wartawan ketika itu, aktivis LBH Jakarta, A.R. Saleh, yang menerima kedatangan Kentus dan kawan-kawan, mendukung operasi penertiban oleh Garnisun DIY. Tapi, ia meminta langkah itu harus tetap menghormati prinsip hukum dan menerapkan asas praduga tak bersalah.
Komandan Garnisun, yang juga Komandan Kodim 0734 Yogyakarta, Letkol CZI M. Hasbi akhirnya memberikan jaminan kepada mereka, dengan mengirimkan surat keterangan Nomor Ktr/010/IV/1983 tertanggal 9 April 1983.
Tapi, Hasbi menuntut tiga orang itu patuh dan tidak mempersulit petugas keamanan.
Setelah mendapat jaminan, pada Selasa petang, 12 April 1983, mereka kembali ke Yogyakarta, naik kereta api, dengan didampingi Maqdir Ismail dari LBH Jakarta.
Mereka juga membuat surat pernyataan di atas kertas segel. Isinya: sepakat menyerahkan diri untuk diperiksa sesuai hukum, tidak akan melawan petugas, serta tidak kabur.
Didampingi sejumlah aktivis LBH Yogyakarta, Kentus dkk akhirnya bertemu Komandan Kodim 0734 Letkol CZI M. Hasbi, Kamis, 14 April 1983.
Selama sepekan, Kentus ditahan di kodim, lalu dipindahkan ke poltabes.
Saat itu tantara memanggil para pemilik toko di Jalan Malioboro dan Jalan Solo, dikumpulkan. Mereka ditanya tentara, apakah mereka pernah diperas dan dimintai uang keamanan tiga orang ini?
Dijawab serempak: ”Tidak....” Maka, Kentus, Monyol dan Mantri selamat dari petrus.
Tapi, tiga orang itu diberhentikan dari tempat kerja mereka. Dan, mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Selain non-skill, nama mereka juga tersiar di sana seperti itu.
Akhirnya Kentus jadi kernet bus kota. Tapi, keluarganya tetap dicemooh masyarakat.
Nuk: ”Setiap bertemu orang di jalanan, saya dipandang sinis. Ada yang bilang di depan saya, lebih baik para Gali itu dibunuh daripada meresahkan masyarakat.”