Justru karena merasa minder, aku masuk ke dunia fashion.
Suatu waktu, seseorang pernah bilang aku bukan tipe yang fashionable. Memang, waktu sekolah aku fokus di sains. Mama selalu menekankan pentingnya jadi juara satu. Anak aktivis berusia 15 tahun, berkacamata, yang nggak tahu nama-nama merek—jujur saja, apa itu penting? Tapi entah kenapa, celetukan itu tertanam dalam-dalam.
Tapi sejak kecil, aku memang suka memperhatikan hal-hal yang berbau estetika.
Waktu SD, aku suka main dress-up paper doll—gunting-gunting baju boneka kertas sama teman-teman. Di rumah, aku sering baca majalah fashion koleksi Mama. Halaman demi halaman aku buka, bukan hanya karena bajunya cantik—tapi karena ingin tahu siapa desainer di baliknya, dan apa inspirasi di balik koleksi mereka.
Saat di SMP Petra 5 Surabaya, di sela-sela persiapan lomba biologi dan kampanye lingkungan hidup, aku mulai menggambar sketsa baju di buku tulis dan aktif ikut lomba majalah dinding. Waktu itu aku sudah senang dengan konsep visual dan storytelling.
Lanjut ke SMA St. Louis 1 Surabaya, semangat itu makin kuat. Aku ikut ajang mading kreatif antar sekolah. Temanya selalu berbeda-beda, dan kami menang tiga kali berturut-turut. Aku masih ingat duduk di lantai, bikin mading berbentuk sepatu Converse bertabur kristal Swarovski.
Banyak yang tahu soal kebiasaan merayakan saat anak perempuan berusia 17 tahun, atau 'Sweet 17'. Biasanya harus pakai baju pesta. Aku selalu pakai desain sendiri. Aku minta tolong ke penjahit di dekat rumah—kasih sketsa, lalu dijahit sesuai desainku. Senang sekali rasanya melihat gambarku bisa berubah jadi baju nyata.
Papa dan Mama sempat bilang: ambil kuliah bisnis atau kimia saja—yang aman. Tapi dunia fashion memberi mimpi. Rasanya seperti membuka pintu ke dunia lain, tempat di mana ide dan ekspresi bisa hidup bersama.
Setelah lulus, aku mengambil beberapa kelas di Raffles Design Institute, Singapore. Di sana aku bertemu banyak murid Indonesia dan berbagai negara yang luar biasa berbakat dan genius—sering bikin aku merasa kecil sendiri. Sekalian latihan Bahasa Inggris, meski logatku waktu itu masih medok Suroboyoan. Tapi yang penting: PD dulu. Nggak apa-apa medok, yang penting ngomong!
Salah satu hal yang bikin aku kaget waktu itu: harga benang.
Di pasar Indonesia, benang bisa cuma seribu rupiah. Tapi di Singapura, bahkan di Chinatown atau Little India, harganya jauh lebih mahal. Apalagi kalau beli kain di toko-toko Arab Street—warna-warni, tapi harganya bikin mikir dua kali sebelum beli. Makanya banyak orang sana ke Hong Kong hanya untuk beli kain buat koleksi fashion. Ternyata, jadi desainer bukan cuma soal ide, tapi juga soal sumber daya.
Tapi yang paling membekas adalah kelas pattern making. Gurunya galak dan perfeksionis—kalau pola jahitanku meleset 0.125 mm saja, dia bisa langsung marah dan minta ulang dari awal. Memang bikin stres, tapi dari situ aku belajar tentang ketelitian, standar tinggi, dan tekanan di balik dunia mode.
Anak-anak sekelas sering bilang mereka benci kelas fashion history, color theory, dan sejenisnya—yang mereka suka cuma gambar dan jahit.
Aku sempat heran sendiri, karena justru aku paling menikmati bagian riset. Aku bahkan bilang ke guruku bahwa aku suka membaca dan mencari tahu konteks. Si guru galak itu cuma geleng-geleng kepala dan bilang, "Wah, ya kamu salah jurusan."
Aku bisa menggambar sketsa, menganalisis siluet, dan menulis deskripsi runway dengan penuh warna. Tapi menjahit? Nol besar. Dan aku sadar, jalanku bukan di balik mesin jahit.