Begitu tiba di San Francisco, aku justru merasa seperti pulang ke tempat yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Aku menyeret dua koper di Union Square, belum tahu harus ke mana—tapi entah kenapa, tidak takut. Lebih berat dari koper adalah rasa ingin tahu yang kubawa—tentang fashion, tentang budaya, tentang cerita manusia.
Ini kota tempat orang bisa berpakaian semaunya tanpa dilirik aneh. Tempat kamu bisa duduk sendirian di kafe berjam-jam tanpa ada yang bertanya, “Nggak nunggu siapa?” San Francisco bukan hanya kota tujuan—tapi ruang transisi.
Orang bilang kota ini seperti “bubble”, karena begitu terbuka, begitu aneh, dan begitu penuh warna. Lebih dari 30 persen penduduknya adalah orang Asia. Di bus, di kampus, di supermarket, aku mendengar berbagai bahasa: Mandarin, Tagalog, Korea, Hindi, dan kadang… bahasa Indonesia. Di sini, aku merasa bisa menjadi siapa saja—tanpa perlu menjelaskan semuanya dari awal.
Kehidupan di Academy of Art University berbeda dari yang pernah aku alami. Bukan hanya karena semua orang memanggil dosen dengan nama depan, tapi karena di sini, gaya adalah bahasa. Mahasiswa datang dengan rambut ungu, eyeliner grafis, sepatu platform, tote bag hasil sablon sendiri—dan semua orang seolah membawa cerita visual yang bisa dibaca diam-diam.
Selama setahun di sana, aku tidak hanya belajar di dalam kelas. Aku sering pergi ke street fair, peluncuran buku, pameran seni, kampanye politik, drama teater, dan museum—acara-acara yang tidak selalu glamor seperti runway show, tapi justru memperkaya cara pandangku tentang fashion dan budaya.
Dari sebuah acara buku, aku bertemu Debra Rapoport—seniman berusia 79 tahun yang mengubah sampah menjadi karya seni yang bisa dipakai. Gelang dari gulungan tisu toilet dan pakaian berlapis warna menjadi simbol kebebasan ekspresi. Ia membuktikan bahwa tren datang dan pergi, tapi gaya sejati tak lekang oleh waktu.
Semakin lama belajar tentang fashion, Marisa Tania semakin tertarik pada kisah manusia. --Marisa Tania
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania: Di Antara Benang dan Kata
Di kelas fashion forecasting, aku belajar bahwa fashion bukan hanya soal tren musiman, tapi cerminan dari zeitgeist—semangat zaman. Apa yang kita kenakan mencerminkan apa yang sedang terjadi di dunia: mulai dari ekonomi, politik, sampai pergerakan sosial. Fashion adalah representasi, bukan sekadar estetika.
Aku pernah ikut behind the scenes di New York Fashion Week—dan untuk pertama kalinya, aku menyaksikan langsung darah, keringat, dan air mata yang tersembunyi di balik satu langkah model di catwalk. Dari riset desain, sketsa, kerja sama dengan desainer tekstil, pembangunan busana, hingga menyusun konsep fashion show—semua detail dikerjakan dengan totalitas. Memilih musik, casting model, make-up artist, stylist—setiap elemen dipertimbangkan dengan sangat serius.
Cara Marisa Tania memandang dunia fashion ikut berubah. Dunia yang membuat orang bersuara. --Marisa Tania
Di sisi lain, San Francisco juga punya definisi gaya yang sangat berbeda. Ini bukan New York—tempat orang berlomba-lomba untuk tampil sempurna. Di sini, seragam tidak resminya adalah kaus gratis bergambar logo startup, hoodie tech company, dan celana santai. Cuacanya yang tidak bisa ditebak membuat layering jaket jadi kebutuhan sehari-hari. Dan karena jalanan di kota ini penuh tanjakan curam, kebanyakan perempuan akhirnya menyerah memakai high heels.
BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania: Jurnalis di Ujung Runway
Aku juga sempat meliput Silicon Valley Fashion Week—sebuah acara eksentrik yang penuh eksperimen, inovasi, dan potensi. “Kamu tidak seharusnya menyesuaikan diri dengan pakaian yang kamu kenakan. Justru pakaianlah yang harus menyesuaikan dengan gaya hidupmu,” kata Jess dari Horvath Clothing sambil mendemonstrasikan gaun anti-noda yang tetap bersih walau disiram minuman berwarna biru.
Itu mungkin satu-satunya fashion show yang krunya harus mengepel lantai karena Vitamin Water sengaja dilempar ke model di atas runway. Impian Bay Area untuk menggabungkan teknologi dan fashion lebih dari sekadar Meta Ray-Ban atau Apple Watch.
Yang selalu membuatku penasaran bukan hanya bajunya—tapi orang-orang di baliknya. Semakin lama belajar tentang fashion, semakin aku tertarik pada kisah manusia. Salah satunya adalah Stephanie Thomas, stylist dan advokat disabilitas yang tidak memiliki jari-jari di tangan kanan dan sebagian kaki.