Hari ini kita memilih ketua IDI-CS yang baru. Ah, hanya cabang, tidak perlu serius-serius amat. Saya tidak berpendapat demikian. Di tengah muramnya wajah IDI secara keseluruhan, IDI-CS muncul bak permata yang bercahaya terang menyinari hati masyarakat Surabaya.
Pemilihan ketua IDI-CS kali ini menjadi teramat penting. Saya percaya, cahaya kebangkitan IDI di negeri ini akan muncul dari Surabaya. Tidak terlalu salah kalau saya mengatakan IDI-CS adalah role model organisasi profesi pada masa mendatang. Mohon ini dipahami para calon ketua baru.
Sayang, terasa ada yang beda pada pemilihan calon ketua IDI-CS kali ini. Flyers, testimoni video promosi diri para calon ketua IDI-CS tampak viral luas. Saya cemas, sungguh ini bukan perilaku dokter.
Kita tahu, setiap jenis organisasi masyarakat membawa perilaku sendiri-sendiri. Political society (termasuk ormas) adir untuk memburu kekuasaan (power seekers). Business society, ia hadir sepenuhnya memang untuk memburu laba (profit seeker).
Intellectual society, ia adalah kaum yang selalu mencari kebenaran (search for the truth). Primordial society hadir karena kesamaan latar belakang: hobi, agama, asal daerah, dll. Mereka berkumpul karena kesamaan yang spesifik (search for something specific).
Tentu kita sepakat bahwa IDI adalah organisasi bentuk ketiga, intellectual society, organisasi yang hadir untuk mencari kebenaran. Tidak boleh dalam perjalanannya nanti IDI-CS dibelokkan ke bentuk yang pertama atau kedua, bahkan dikerdilkan menjadi bentuk keempat, sama sekali tidak boleh.
Anggota intellectual society adalah para kaum terpelajar. Syarat untuk pemilihan ketua IDI-CS jelas: ”meritokrasi”. Rekam jejaklah yang menjadi acuan, bukan flyers atau video. Cara-cara seperti itu justru mereduksi sifat dasar intelektual. Reputasi tidak bisa dibangun di atas promosi pribadi atau testimoni, tetapi lahir dari pengakuan sportif lingkungannya.
Reputasi tidak bisa dibangun dari kasak-kusuk dan jual janji. Untuk seorang intelektual, haram hukumnya mempromosikan diri. Rekam jejaklah yang berbicara, bukan kasak-kusuk, bukan primordialisme, bukan perkoncoan.
Suasana pemilihan ketua PB IDI di beberapa periode terakhir terasa jauh dari meritokrasi. Kasak-kusuk, primordialisme, dan perkoncoan lebih terasa. Hasil akhirnya? Di saat tantangan besar datang, (PB) IDI gagal menghadirkan ”sabda kebenaran”.
Siapa pun yang terpilih nanti, janganlah menjadikan IDI-CS sebagai ”rumah kita” bersama. Mengapa? Rumah itu membawa konotasi emosional, pulang. Tempat kita beristirahat, santai, dan bahagia bersama keluarga. Bukan! IDI bukan tempat pulang, melainkan tempat untuk pergi berjuang.
Bangunlah IDI-CS menjadi ”sekolah profesionalisme”, ruang rasional yang mampu membangun dokter, bangsa, dan negeri ini. Wadah pembelajaran yang penuh disiplin, cerdas, dan terbaik untuk menggodok dokter Indonesia menjadi insan profesional yang matang, pekerja keras bertanggung jawab, beretika, welas asih, dan selalu terkini dalam keilmuan dan teknologi.
Pada setiap acara coblosan di PB IDI, saya selalu meninggalkan tempat, mengapa? Kalimat ”one man, one vote” adalah satu kebenaran untuk dunia politik. Tetapi, tidak sepenuhnya tepat bagi dunia akademis. Sebab, kebenaran hakiki itu tidak bisa divoting.
Contoh ekstrem, tidak bisa sapi dikatakan binatang buas walaupun dicoblos 1.000 voters, sedangkan yang mencoblos memamah biak hanya 1 voter. Kebenaran adalah kebenaran berbasis bukti, tidak bisa divoting, tapi bisa kita cari bersama melalui dialog yang jernih dan sportif berbasis data.
Lantas, bagaimana membedakan calon ketua terbaik dan sosok yang buas? Bacalah teliti rekam jejak sang calon, tanyakan kepada nurani yang terdalam, jangan kasak-kusuk.
Sedikit pesan untuk para calon pemimpin IDI di masa datang, jangan jadikan IDI tempat untuk menggalang massa, jadikanlah IDI tempat terbaik untuk melahirkan gagasan dan mencari kebenaran.
Sebab, kebenaran mempunyai kaki sendiri.... (*)