Satu Kampung Sekolahkan Devit: Saat Masyarakat Ambil Alih Kekosongan Sistem

Sabtu 14-06-2025,12:11 WIB
Oleh: Noor Arief Prasetyo


--

Oleh:

Yayan Sakti Suryandaru

Pengamat Pendidikan dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya

 


--

Rini Kartini

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa, Flores, NTT

 

KETIKA Devit Febriansyah, 18, anak seorang kuli angkut dari lereng Gunung Singgalang, Malalak, Sumatera Barat, dinyatakan lolos ke Institut Teknologi Bandung (ITB), bukan hanya keluarganya yang menangis bahagia. Satu kampung tempat Devit tinggal juga turut bangga. Bahkan mereka patungan agar Devit bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Lebih mengharukan lagi, Rektor ITB sendiri turun tangan menjemputnya. Kisah ini viral dan memang layak untuk viral. 

Namun, di balik rasa haru itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: mengapa satu anak harus ditopang oleh satu kampung agar bisa kuliah? Apa kabar sistem pendidikan dan distribusi anggaran kita selama ini?

Niat Baik, Cara Harus Baik

Kisat Devit yang diviralkan oleh dosen ITB sekaligus influencer pendidikan, Imam Santoso,  menyentuh hati banyak orang. Turunnya Rektor ITB langsung menjemput Devit dan dua mahasiswa lainnya, Nauli Al Ghifari dan dan Deka Fakira, adalah simbolik dari kepedulian dunia pendidikan tinggi terhadap perjuangan anak-anak dari pinggiran. Namun, niat baik seperti ini harus berjalan seiring dengan cara yang baik pula. Dalam banyak kasus, program pendidikan dari pemerintah yang tujuannya mulia, seringkali bermasalah dalam pelaksanaannya.

Ketika jalur distribusi dana atau program dikendalikan oleh panitia formal tanpa pengawasan kuat, celah korupsi terbuka lebar. Program beasisiwa daerah misalnya, pernah disorot karena tidak tepat sasaran atau bahkan diselewengkan oleh oknum. Menurut laporan Indonesia Coruption watch (ICW, 2023), sector pendidikan termasuk lima besar sector yang paling rawan disusupi praktik korupsi. 

Beberapa contoh korupsi di sector pendidikan yang sering terjadi di sector pendidikan antara lain penggelapan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Data dari ICW menyebutkan bahwa 40% kasus korupsi di sector pendidikan yang ditindak pada tahun 2023 melibatkan dana BOS (https://antikorupsi.org/id/ ). Sebagian besar modus korupsi di sector pendidikan yaitu laporan fiktif, penyalahgunaan anggaran, penggelembungan dana (mark up), pungutan liar/pemerasan, penyunatan anggaran, penggelapan, dan penyalahgunaan wewenang (https://aclc.kpk.go.id/).

Kategori :