Senator Republik John Thune juga menuding Teheran sebagai pihak yang menolak jalur damai. "Iran telah menolak semua jalan diplomatik menuju perdamaian," katanya. Ia merujuk pada ancaman tanpa henti Iran terhadap Israel. Juga retorika anti-AS dari pemimpin Iran.
BACA JUGA:AS Bom Situs Nuklir Iran, Akankah Awan Radioaktif Mencemari Timur Tengah?
BACA JUGA:Netanyahu Puji Trump Atas Serangan ke Iran: Janji Menghancurkan Nuklir Iran Telah Terpenuhi
Serangan AS terjadi hampir tepat satu dekade setelah Presiden Barack Obama menandatangani kesepakatan nuklir. Perjanjian itu membuat Iran membatasi aktivitas nuklirnya secara drastis.
Kesepakatan itu dicabut Trump pada 2018. Kala itu, ia baru di awal masa jabatan pertamanya. Dengan dukungan dari Partai Republik dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump menganggap perjanjian itu tidak cukup mengekang ambisi nuklir Iran.
Padahal, sebulan silam, Trump sempat menebar angin surga. Ia berharap ada kesepakatan baru dengan Iran. Pernyataannya dicetuskan saat mengunjungi negara-negara Teluk, 13-16 Mei 2025.
Pemerintahannya bahkan bersiap menggelar perundingan. Tetapi, serangan Israel terhadap Iran mengubah arah diplomasi secara mendadak.
BACA JUGA:Amerika Serikat Serang Situs Nuklir Iran, Donald Trump Langsung Minta Damai
BACA JUGA:Perang Iran-Israel, Tanda Bahaya dari Timur Tengah
"Keputusan Trump untuk mengakhiri upaya diplomasinya justru mempersulit upaya kesepakatan jangka menengah dan panjang," jelas Jennifer Kavanagh, Direktur Analisis Militer di Defense Priorities. Katanya, Iran tidak lagi punya alasan memercayai Trump. Seandainya ada perundingan pun, Iran tak yakin mereka diuntungkan.
Sementara itu, para pemimpin agama di Iran juga menghadapi tantangan internal. Protes besar terjadi pada 2022 setelah kematian Mahsa Amini di tahanan polisi moral. Artinya, ada ketegangan di dalam negeri yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Karim Sadjadpour, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, menyatakan bahwa serangan Trump bisa mengarah pada dua arah ekstrem. "Serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran adalah peristiwa tanpa preseden yang bisa menjadi titik balik. Tntah memperkuat rezim Islam Iran atau mempercepat kejatuhannya," tukas Sadjadpour.
"Dampaknya akan dirasakan selama beberapa dekade ke depan," tambahnya.
BACA JUGA:AS Kirim Armada Tempur ke Dekat Iran, Dunia Islam Bungkam, Bisa Picu Tragedi Global
BACA JUGA:TNI Jelaskan Alasan Kapal Induk AS USS Nimitz Melintas di Perairan Aceh
Hal itu terasa juga pada invasi AS ke Iraq pada 2003. Kala itu, Presiden Saddam Hussein seperti menjadi musuh bersama di dalam negeri. Tapi, sekarang muncul narasi-narasi yang mengatakan bahwa Saddam Hussein sejatinya adalah pahlawan yang berupaya melindungi negerinya dari rongrongan bangsa asing.