SEJAK LAMA kita salah mendiagnosis masalah industri gula kita. Dulu pemerintah yakin masalahnya di pabrik gula yang sebagian besar kuno. Tinggalan zaman Belanda. Sehingga sibuk merevitalisasi pabriknya.
Ternyata sumber masalahnya bukan hanya itu. Masalah utamanya di agronomi. Merosotnya produktivitas tebu gula. Yang menurun terus sehingga mengganggu pasokan bahan baku pabrik gula. Bagaimana mungkin swasembada kalau produktivitas tebu merosot sampai tiga kali lipat?
Baru belakangan disadari bahwa akar persoalannya bukan hanya pada keduanya. Tapi, lebih ke masalah tata kelola. Tata kelola yang tak baik menjadikan produktivitas bahan baku tebu merosot dan pabrik gula menjadi tak efisien.
BACA JUGA:Bagi Hasil Tebu Emas
Saya makin yakin soal itu setelah beberapa hari keliling kebun tebu dan pabrik gula di Banyuwangi dan Jember. Bersama direksi dan komisaris PT Sinergi Gula Nusantara (SGN). Setelah pabrik gula di bawah PTPN III Holding dibenahi tata kelolanya.
Ya. Hanya butuh waktu tiga tahun untuk memperbaiki itu. Sejak 36 pabrik gula (PG) milik perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor perkebunan tersebut dikonsolidasikan. Dalam tata kelola satu entitas berdasarkan bisnis inti komoditas gula di bawah PT SGN.
Dengan menggabungkan 36 PG ke dalam satu kendali, perbaikan tata kelola lebih mengena. Lebih terkonsolidasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Bukankah inti tata kelola ada di tiga hal itu?
Sempat terkendala karena di awal konsolidasi dipisahkan antara kegiatan on farm dan off farm. Terpisah antar urusan pengelolaan kebun tebu dan PG. Masing-masing dikelola entitas perusahaan yang berbeda. Tidak dalam satu manajemen.
Baru tahun 2024, antara on farm dan off farm kembali digabungkan. Sama-sama dalam kendali PT SGN. Dikelola satu menajemen. Sehingga bisa searah antara perencanaan ketersediaan bahan baku dan produksi gulanya.
Hasilnya?
Tahun ini baru bisa dilihat. Terjadi penghematan di pengelolaan on farm. Dari 56.800 hektare lahan HGU milik PTPN Group, bisa dilakukan efesiensi lebih dari Rp 326 miliar. Itu biaya penghematan untuk budi daya serta tebang, muat, angkut, dan mekanisasi.
Perencanaan bahan baku bisa dilakukan secara lebih terintegrasi. Baik yang menyangkut tebu rakyat maupun tebu sendiri. Semuanya bisa lebih bisa dikendalikan. Mulai tanam tebu masak awal, masak tengah, hingga masak akhir. Perencanaan masa giling pun menjadi lebih pasti.
Yang luar biasa adalah dampaknya terhadap kualitas tebu. Tahun lalu, di PG Glenmore maupun PG Jatiroto, sering terjadi gangguan berhenti giling karena kualitas bahan baku. Banyak batu yang bercampur dengan bahan baku sehingga berpotensi menghentikan giling dan merusak mesin.
Sekarang kualitas bahan baku yang sampai pabrik sangat bersih. Hal itu terjadi hanya karena perubahan di sistem tebang muat angkut yang diikuti dengan mekanisasi.
”Dulu di wilayah timur, PG Prajegan yang selalu terbaik bahan bakunya. Kini merambah di Glenmore dan Jatiroto,” kata Amri Siregar, komisaris utama PT SGN.