Dramaturgi XX, Menyingkap Luka Batin Lewat Elliot dan Emma

Sabtu 28-06-2025,12:29 WIB
Reporter : Ainnur Ayu Nanda Agustin
Editor : Guruh Dimas Nugraha

Begitulah awal mula Elliot: Tentang Emma dan yang Lainnya, pementasan penuh lapis makna dari Dramaturgi XX, yang tahun ini mengangkat tema Magnifico Primrose.

Sebuah tema tentang keindahan yang rapuh. Bagai bunga primrose yang lembut dan perlahan-lahan mekar namun mudah layu diterpa angin.

BACA JUGA:Adisaroh: Pementasan Teater Tentang Kisah Cinta Dari Studio Daluang di Balai Budaya Surabaya

Lalu terdengar suara. Teriakan lirih namun menusuk, “Emma... Emma...” menggema dari arah belakang penonton.

Empat perempuan berbaju putih berjalan lambat. Mengitari bangku penonton, lalu naik ke atas panggung. Mereka menari dalam lingkaran. Mengelilingi Emma, tokoh utama yang sedang berdiri di atas meja beralas kain merah darah.

Musik mengalun. Magis dan melankolis. Tarian mereka bukan sekadar koreografi. Tapi jerit hati yang terbungkam oleh dunia yang tak pernah benar-benar hadir untuk memahami.

BACA JUGA:Pementasan Pelaminan Kosong di GNI Surabaya, Lewat Teater Suarakan Perempuan


Emma dikelilingi empat penari-Christian Mazmur-Magang Disway

Kemudian dari dalam almari, simbol ingatan, ruang bawah sadar, atau mungkin rahim kenyataan yang ditolak, muncul sosok lain: Elliot. Ia menari bersama Emma, lalu tinggal berdua. Di situlah kisah yang menggugah itu benar-benar dimulai.

Emma adalah perempuan muda yang hidup dalam dua dunia. Dunia nyata yang dingin dan sepi. Dunia dalam kepalanya yang penuh warna, namun berbahaya.

Dia diduga mengidap skizofrenia. Semua yang ia anggap nyata hanyalah bayang-bayang dari isi kepalanya. Tiga sosok menemaninya: si Mama, si Kekasih, dan si Elliot.

BACA JUGA:Pertunjukan Teater Yannick Stasiak di SMKN 12 Surabaya, Sajikan Simbol Kelahiran-Kematian

Si Mama hadir sebagai penyihir. Suara yang menghukum, luka masa lalu yang belum sembuh. Si Kekasih, cinta yang tak terjangkau, gambaran romantisme yang diciptakan demi mengisi kekosongan hati.

Sedangkan Elliot yang paling dalam. Ia bukan hanya teman. Tapi bagian dari diri Emma sendiri. Cerminan dari apa yang tersembunyi di balik layar kesadarannya, jiwa yang terbelah, setengah waras, setengah hilang.

Yang nyata hanyalah sang Ibu. Sosok keibuan yang setiap hari merawat tubuh Emma yang tergeletak pasrah di kasur.

BACA JUGA:Martcapada, Imajinasi Teatrikal Teater Kusuma dalam Dies Natalies Untag ke-35

Menyuapi obat, mengganti air kompres. Semua yang kita saksikan di panggung adalah isi kepala Emma: fragmen, ilusi, dan harapan yang perlahan membusuk dalam kesepian.

Dramaturgi XX kali ini tidak hanya menghadirkan pertunjukan. Ia mengundang penonton masuk ke dalam labirin jiwa manusia.

Tema Magnifico Primrose bukan sekadar bunga yang indah dan rapuh. Tetapi refleksi dari manusia hari ini. Manusia yang tampak megah dari luar namun keropos di dalam. Mental yang sakit, jiwa yang terpecah, dan tubuh yang tak lagi sanggup bicara.

BACA JUGA:Bawa Teater Tari The Wounded Cuts ke Rumah Banjarsari, Whani Dharmawan Refleksikan Pencarian Jati Diri

Pementasan itu menjadi semacam perenungan kolektif. Tentang siapa kita ketika sendirian. Tentang siapa yang tinggal bersama kita, ketika dunia tak lagi menyapa.

Tentang suara-suara di dalam kepala, yang sering kali lebih nyata daripada dunia luar yang hanya menyuruh kuat tanpa peduli caranya.

Usai pertunjukan, banyak penonton terdiam lama di kursinya. Bukan karena mereka tak mengerti cerita, tapi karena kisah itu terlalu lekat dalam benak mereka. Seolah Emma adalah bagian dari diri mereka sendiri.

BACA JUGA:Panggung Eunoia: Teater Realisme dan Komedi Karya Mahasiswa UNESA

Dramaturgi XX berhasil mengubah panggung menjadi ruang jiwa. Menyampaikan bahwa yang megah tak selalu kuat. Bahwa kita semua, mungkin, adalah bunga primrose yang sedang menunggu layu. (*)

*) Mahasiswa Magang Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga.

Kategori :