Dalam kesempatan yang sama, Prabowo juga melaporkan capaian besar dari lawatannya ke Brussel, Belgia. Setelah 10 tahun negosiasi yang alot, Indonesia dan Uni Eropa akhirnya mencapai kesepakatan dalam perjanjian CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).
BACA JUGA:Kehangatan Diplomasi Usai Bastille Day: Prabowo Dijamu Macron di Istana Élysée
Kesepakatan itu memungkinkan produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa dengan tarif 0 persen. Hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa pun saling menguntungkan.
Sebab, kata Prabowo, negara-negara Eropa memiliki keunggulan dalam hal teknologi, ilmu pengetahuan, dan pendanaan. Sementara Indonesia memiliki kekayaan mineral, komoditas, dan pasar yang besar.
Tak hanya itu, Indonesia dan Uni Eropa juga menyetujui kebijakan visa cascade yang akan memudahkan WNI memperoleh visa multiple entry ke wilayah Schengen.
“Ini harus diapresiasi, ini achievement yang bagus dong,” jawab Guru Besar Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana soal kesepakatan Indonesia-AS saat dihubungi Harian Disway, kemarin. Kesepakatan itu terhitung cepat. Apalagi bila dibandingkan dengan perjanjian CEPA yang baru tembus setelah 10 tahun itu.
BACA JUGA:Telepon Prabowo-Trump Bikin Tarif Impor AS Turun Jadi 19 Persen
Namun, kesepakatan dengan AS harus segera diterjemahkan ke dokumen bilateral. Agar bisa menjadi perjanjian resmi yang mengikat. Jika tidak, Indonesia akan tersandung Pasal 1 ayat 1 dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Pasal itu mengatur prinsip Most Favored Nation (MFN). Artinya, keistimewaan tarif seperti bea masuk nol persen bagi produk Amerika juga harus diberlakukan kepada seluruh anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tentu hal itu bisa menjadi bumerang. Salah satu skenario yang patut diwaspadai adalah jika negara lain, khususnya Tiongkok dan Uni Eropa, ikut menuntut perlakuan serupa.
BACA JUGA:Trump Kenakan Tarif 30 Persen ke Meksiko dan Uni Eropa Mulai 1 Agustus
Apalagi, posisi Indonesia yang juga bergantung pada pembiayaan dan investasi dari Tiongkok membuat tekanan semacam itu bukan mustahil terjadi. Bagi negara-negara tersebut, Indonesia adalah pangsa pasar yang menjanjikan. Sehingga tidak mau bila didominasi pelaku usaha AS saja.
Hikmahanto pun mengingatkan agar pemerintah wajib menguatkan para pelaku usaha dalam negeri, termasuk BUMN. Sehingga mampu bersaing dengan pelaku usaha AS. Bila tidak, mimpi Prabowo soal swasembada energi dan pangan bisa jadi taruhannya.
Pemerintah pun harus mengantisipasi mengecilnya lapangan pekerjaan yang terbuka di dalam negeri. Mengingat, produk-produk dari AS akan dibuat oleh tenaga kerja AS.
"Karena kalau sudah nol persen, sama saja produksi di sini. Padahal sumber daya manusia dan lapangan kerjanya di sana,” tandas Hikmahanto. (*)