JAKARTA, HARIAN DISWAY – Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arif Havas Oegroseno tak ambil pusing soal larangan rangkap jabatan yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia justru menyatakan siap patuh penuh terhadap keputusan tersebut. “Ya kan ini keputusan MK, ya kita ikut MK aja,” ujarnya tanpa keberatan, Minggu, 20 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa sebagai pejabat negara sudah seharusnya tunduk pada hukum yang berlaku.
“Kalau MK mengatakan nggak boleh rangkap, ya bagaimana lagi? Sesuai law and regulation ya,” tambahnya.
Terkait diputuskannya larangan rangkap jabatan ini, sebelumnya MK menolak dua permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Gugatan pertama diajukan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon, dengan nomor 21/PUU-XXIII/2025. Dalam gugatannya, ia meminta MK melarang menteri dan wakil menteri memiliki jabatan yang rangkap. Yakni sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan di perusahaan swasta.
BACA JUGA:MK Gelar Sidang Uji Materi UU Perusakan Hutan, Pemerintah Tegaskan Perlindungan Hutan
Namun, gugatan tersebut tidak diterima dan anggapan kerugian konstitusionalnya dinilai tidak terpenuhi. Hal tersebut dikarenakan pemohon telah meninggal dunia.
Sedangkan gugatan kedua diajukan oleh Vito Jordan Ompusunggu dkk, dengan nomor 35/PUU-XXIII/2025. Mereka meminta agar MK melarang menteri merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
Namun, kerugian hak kontitusional para pemohon dinilai MK tidak jelas. Sehingga permohonan tersebut juga tidak diterima.
BACA JUGA:MK Larang Caleg Terpilih Mundur untuk Maju Pilkada
Melalui keluarnya putusan ini, MK mempertegas bahwa pejabat setingkat menteri dan wakil menteri dilarang memiliki jabatan rangkap. Khususnya sebagai komisaris BUMN.
Arif Havas dengan tegas memastikan dirinya tidak mempermasalahkan adanya keputusan tersebut. “Kalau putusan sudah jelas, ya kita ikuti. Hukum harus jadi pedoman,” tegasnya.
Dengan adanya putusan ini, diharapkan dapat memperkuat prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satunya dengan mencegah adanya benturan kepentingan di jajaran eksekutif. (*)