Ketika Narasi Eufemisme Menegasikan Fakta

Selasa 29-07-2025,10:33 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Dialektika sang menteri menanggapi video viral yang mengungkap antrean di kawasan Cianjur dianggap bukan cermin kehancuran sistem kerja, melainkan dampak dari kesenjangan informasi antar pelamar, perusahaan, dan pemerintah daerah. 

Argumen yang bernada defensif tentang rendahnya pelaporan lowongan oleh perusahaan ke dinas tenaga kerja yang mengakibatkan proses rekrutmen acap kali berlangsung secara manual dan rawan overload secara tersirat bermakna mengalihkan persoalan dari membeludaknya angka pengangguran ke substansi ”terlambatnya rilis informasi lowongan”. 

Data mungkin saja bisa dimanipulasi, tetapi fakta di lapangan tak mudah untuk ditutupi.

FAKTA YANG SULIT DIELAKKAN

Jika kita tengok ke belakang, sejumlah pabrikan manufaktur besar telah menutup operasionalnya dan hengkang dari Indonesia. 

Mulai Sanken, Heung-A, pabrik sepatu Bata, dan terakhir industri tekstil Sritex serta beberapa industri kecil mengalami kegagalan operasi karena dampak pelemahan ekonomi global. Itu semua mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran. 

Bila kita cermati, Indeks Manufaktur PMI Indonesia mengalami penurunan menjadi 46,9 pada Juni 2025 dari 47,4 pada bulan sebelumnya. Itu menandai bulan ketiga berturut-turut kontraksi dalam aktivitas pabrik. 

Pesanan baru menyusut selama tiga bulan berturut-turut, dengan tingkat penurunan paling tajam sejak Agustus 2021. Produksi juga turun meski sedikit melonggar dari bulan Mei. Demikian pula dengan aktivitas pembelian, menurun sedikit selama tiga bulan. 

Sementara itu, indikator ketenagakerjaan juga menurun untuk kali kedua dalam tiga bulan, dengan laju penurunan tercepat dalam hampir empat tahun. Penjualan ekspor stagnan setelah dua bulan penurunan dan backlog pekerjaan turun sedikit. 

Hal itu bisa dipahami akibat terdampak pelemahan global yang dipengaruhi perang tarif yang tampaknya belum melandai.

Di sisi lain, aspek time delivery menunjukkan tren membaik untuk kali kedua dalam kurun tiga bulan. Hal itu mengindikasikan adanya permintaan yang lemah dan kebutuhan produksi yang berkurang. 

Inflasi biaya input melonggar ke level terendah sejak Oktober 2020 walaupun tekanan biaya secara keseluruhan tetap kuat. Harga jual naik sedikit karena perusahaan berupaya tetap kompetitif. 

Akhirnya, sentimen mencapai level terendah delapan bulan, dipengaruhi kekhawatiran atas kondisi ekonomi global.

Ketika berbagai parameter ekonomi domestik dan global menunjukkan pelemahan di segala lini, alangkah bijak menyikapinya dengan argumentasi yang solutif, tidak dengan berkelit seolah-olah mengelak fakta riil yang publik bisa dengan mudah mengakses sumber-sumber data pembanding yang bisa menelanjangi kemasan bahasa eufemisme sang menteri, bukan? (*)

*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship and Leadership.

 

Kategori :