Ketika Narasi Eufemisme Menegasikan Fakta

Ketika Narasi Eufemisme Menegasikan Fakta

ILUSTRASI Ketika Narasi Eufemisme Menegasikan Fakta.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

TAKU ETO, menteri pertanian, perikanan, dan kehutanan Jepang, terpaksa dengan berat hati meletakkan jabatannya. Menariknya, pengunduran diri itu menyusul akibat pernyataannya yang sebenarnya bermaksud untuk bercanda, tetapi diucapkan pada saat yang tidak tepat. 

Lantaran mengeluarkan pernyataan yang dinilai publik Negeri Matahari Terbit tidak sensitif, sang menteri mendapat banyak protes sehingga memutuskan mengundurkan diri sebagai menteri.

Semua itu bermula ketika kondisi Jepang yang dalam beberapa waktu belakangan mengalami kelangkaan beras, yang notabene merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok. Jepang menghadapi krisis biaya hidup pertama dalam beberapa dekade. 

Krisis itu menghantam makanan pokok penduduk Jepang, yaitu beras. Karena kelangkaan tersebut, harga beras di Jepang sempat melesat dua kali lipat dari harga yang berlaku di pasaran. 

Namun, dengan posisinya sebagai menteri yang bertanggung jawab atas kelangkaan bahan pokok, bukannya mengeluarkan pernyataan permohonan maaf dan berjanji untuk segera memperbaiki keadaan, Taku Eto justru melemparkan sebuah candaan yang dinilai tidak sensitif terhadap warganya yang menghadapi kesulitan. 

Beras adalah perkara sensitif di Jepang. Kekurangan pasokan beras bisa memantik kekacauan politik. Kerusuhan akibat melonjaknya harga beras tercatat pernah meletup dan mengakibatkan pemerintahan Jepang jatuh pada 1918.

Pernyataan disertai candaan bernada eufemisme justru memantik kontroversi bahwa sang menteri tidak pernah membeli beras karena para pendukung ia memberinya ”banyak” beras sebagai hadiah. 

Dengan kelakar itu, ia berharap agar perkataannya bisa membikin tertawa dan menghibur warga terdampak. Akan tetapi, kenyataannya, candaan yang dilontarkan menjadi bumerang dan langsung menjadi sasaran empuk serangan sejumlah politikus partai oposisi. 

Kelakar Takuo Eto dinilai partai oposan sebagai tindakan ceroboh dan tidak elok yang hanya untuk menutup-nutupi ketidakmampuan sang menteri mengatasi problem kelangkaan beras. 

Lagi, di Taiwan pada pengujung 2024, Ho Pei-shan, menteri ketenagakerjaan, telah meletakkan jabatannya karena merasa gagal menekan angka bunuh diri di kalangan pekerja kantor lantaran merebaknya tindakan perundungan. 

Sang menteri memilih mundur tanpa basa-basi dengan nuansa eufemisme sebelum investigasi dilakukan otoritas departemen terkait karena merasa malu dan tidak pantas mempertahankan jabatannya. 

Jepang dan Taiwan dikenal sebagai negara yang sangat tinggi dalam menerapkan standar clean and good governance serta moral dan etika, terutama bagi kalangan politikus. 

Pun, sangat sedikit, bahkan jarang, terdengar seorang politikus dan pejabat yang bertahan di posisi jabatannya dengan berlindung di balik kekebalan ”baju” pejabat pemerintahan ketika melakukan blunder politik. 

HARGA SEBUAH LEGITIMASI    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: