Ketika Narasi Eufemisme Menegasikan Fakta

Ketika Narasi Eufemisme Menegasikan Fakta

ILUSTRASI Ketika Narasi Eufemisme Menegasikan Fakta.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Legitimasi kuat dari rakyat merupakan faktor signifikan yang mendorong berjalannya roda administrasi pemerintahan dengan baik. Dengan demikian, salah satu aspek fundamental bertahannya legitimasi pada pemerintah adalah dijunjung tingginya etika para pejabat atau pemangku amanah. 

Etika pemerintahan mengatur dua alasan utama agar pejabat senantiasa mawas diri dengan jabatan yang diembannya. 

Pertama, merasa diri telah layak dan pantas mendapat kepercayaan dan tanggung jawab. 

Kedua, dianggap mampu menjaga amanah masyarakat, bangsa, dan negara. 

Seandainya terdapat adab bicara pejabat yang dinilai kurang pantas dan menyinggung perasaan publik, pengunduran diri dari jabatan merupakan perwujudan tanggung jawab moral dan diklasifikasikan gagal memenuhi unsur yang pertama.

Mengundurkan diri dari jabatan karena telah gagal mengatasi permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya amat langka ditemukan di negeri ini. Bisa dihitung berapa pejabat yang sadar merasa telah gagal memenuhi harapan publik sehingga mundur atas kesadaran sendiri tanpa adanya tekanan publik. 

Meski masih bisa keukeuh dalam mempertahankan jabatan, sejatinya pejabat itu telah kehilangan legitimasi dan mendapat stigma cacat moral. Memang banyak pejabat yang mengundurkan diri, tetapi sedikit kasus yang terkait dengan pelanggaran etika pemerintahan. 

Pada umumnya pejabat mengundurkan diri karena sejumlah alasan. 

Pertama, mundur setelah terjerat dalam kasus hukum, kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Contohnya cukup banyak. 

Sejumlah menteri maupun pejabat setingkat di bawahnya yang mengundurkan diri dari jabatan mereka setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang. 

Kedua, ada yang sukarela mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa gagal dalam menjalankan amanah. 

Terakhir, dan bisa jadi ini merupakan fenomena baru, karena etika, ataupun adab bicara yang kurang dijaga di ruang publik yang memicu kemarahan sehingga ramai-ramai orang menuntutnya mundur. 

Argumentasi yang sering dikemas dengan bahasa eufemisme kerap kali ditampilkan pemegang otoritas kekuasaan untuk mengurangi tekanan psikis dan bahkan bisa jadi untuk menutup-nutupi kegagalannya yang justru berkebalikan dengan fakta di lapangan.

Sebagaimana belakangan ini jagat media diramaikan oleh pernyataan kontroversial Menteri Ketenagakerjaan Kabinet Merah Putih Yassierli. Ia bernada menegasikan tingginya disparitas ketersediaan tenaga kerja dengan jumlah lowongan kerja yang ada. 

Awalnya dipicu oleh berita dibukanya sebuah lowongan kerja di sebuah toko ritel lokal yang membuka formasi untuk karyawan di 50 posisi. Namun, hal tersebut langsung menjadi viral karena diserbu ribuan pelamar yang rela mengantre sejak pagi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: