Alasan di Balik Lavender Marriage: Antara Tekanan Sosial dan Privasi

Kamis 07-08-2025,10:34 WIB
Reporter : Mauluda Luthfiana Nastiti
Editor : Heti Palestina Yunani

Hal serupa juga berlaku di lingkungan profesional yang konservatif, di mana orientasi seksual tertentu masih dianggap tabu. 

Dalam situasi seperti ini, menjalani pernikahan yang sesuai dengan ekspektasi sosial dipandang sebagai solusi yang paling aman, meskipun itu mengorbankan kejujuran terhadap diri sendiri.

Bagi sebagian individu, memilih lavender marriage bukanlah semata bentuk penipuan, melainkan strategi perlindungan diri di tengah tekanan sosial yang belum sepenuhnya inklusif. 


Tekanan sosial menjadi salah satu alasan seseorang memilih jalan lavender marriage--

Di tengah kondisi sosial yang belum sepenuhnya menerima keberagaman orientasi seksual, keterbukaan bisa berujung pada diskriminasi, pengucilan, atau bahkan kehilangan pekerjaan. Maka dari itu menjaga privasi menjadi langkah yang paling aman. 

BACA JUGA: Memahami Tren Marriage is Scary, Mengapa Pernikahan Terlihat Sangat Menakutkan?

Lavender marriage, meskipun tampak seperti kompromi, seringkali dipilih agar seseorang tetap bisa menjalani hidup dengan aman dan terhindar dari ancaman sosial maupun profesional. 

Penting untuk dipahami bahwa coming out adalah keputusan yang sangat personal. Tidak semua orang memiliki ruang atau kondisi yang cukup aman untuk melakukannya, dan tidak seharusnya ada kewajiban untuk terbuka hanya demi memenuhi ekspektasi orang lain.

Meskipun pernikahan seperti ini kerap dianggap sebagai solusi praktis untuk menghadapi tekanan sosial, di baliknya tersimpan berbagai konsekuensi emosional dan psikologis yang tidak dapat diabaikan.

Hidup dalam pernikahan yang tidak dilandasi cinta sejati dapat memicu perasaan kesepian dan keterasingan, terutama ketika pasangan tidak memiliki kedekatan emosional yang tulus. 

BACA JUGA: Mengapa Banyak Anak Muda Masa Kini Menunda Menikah?

Selain itu, tekanan untuk terus menyembunyikan identitas diri yang sebenarnya dapat menimbulkan konflik batin dan kebingungan identitas, terlebih jika harus terus-menerus memainkan peran yang tidak mencerminkan siapa mereka sesungguhnya. 


Tekanan psikologis turut menjadi konsekuensi ketika seseorang memilih jalan lavender marriage--

Dalam jangka panjang, situasi ini bisa menyebabkan stres kronis, kelelahan emosional, dan menurunnya kesehatan mental secara keseluruhan. Sayangnya, banyak orang merasa tidak punya pilihan lain selain mengikuti tekanan sosial.

Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma heteronormatif, banyak orang merasa perlu menyembunyikan jati diri demi terlihat “sesuai.” Padahal, setiap orang berhak untuk menjalani hidup dengan menjadi diri  sendiri tanpa takut akan penolakan.

Keberadaan lavender marriage bukan hanya soal strategi bertahan, tetapi juga menjadi refleksi nyata bahwa masyarakat masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam memahami, menghargai, dan menerima keberagaman identitas.

Kategori :