Tiongkok yang Berjuang Melawan Penurunan Populasi: Hidup Kian Mahal, Pilih Tanpa Anak

Sabtu 09-08-2025,15:13 WIB
Reporter : Joylin Septiani
Editor : Noor Arief Prasetyo

Dulu, Tiongkok begitu agresif menekan angka kelahiran. Kini, justru warganya yang ogah punya anak. Padahal, serangkaian insentif sudah dikucurkan agar populasi Tiongkok tidak terus menerus drop.

DI tengah tren global penurunan angka kelahiran, Tiongkok ikut terseret arus. Ironis. Padahal, mereka sempat menjadi simbol populasi raksasa dunia selama bertahun-tahun.

Ya, pemerintah Tiongkok sempat menetapkan aturan satu anak per keluarga secara ketat. Nyaris tak ada kompromi. Bukan sekadar imbauan, kebijakan itu datang lengkap dengan ancaman denda hingga 100 ribu yuan (atau sekitar Rp 227 juta).

Angka itu cukup untuk membuat keluarga kelas menengah ke bawah berpikir dua kali sebelum menambah anak.

BACA JUGA:Peringatan 80 Tahun Kemenangan Perang Rakyat Tiongkok, Serukan Jaga Perdamaian

BACA JUGA:Melihat Abadinya Masa Silam dalam Kota Modern Tiongkok

Kelahiran, yang dalam banyak budaya dirayakan sebagai berkah, berubah jadi pelanggaran administratif. Generasi yang tumbuh di bawah bayang-bayang kebijakan itu pun lama-kelamaan enggan membangun keluarga.

Masalahnya bukan sekadar trauma atas penderitaan yang pernah dialami orang tua mereka. Bukan juga karena tak mampu mencintai. Melainkan karena keraguan. Apakah dunia yang mereka warisi cukup layak untuk ditinggali oleh anak-anak mereka kelak?

Perlambatan ekonomi dan tingkat pengangguran yang terus merangkak naik memperkuat keraguan itu. Di tengah beban hidup yang kian kompleks, membangun keluarga bukan lagi prioritas.

Zane Li membagikan kisahnya kepada CNN. Ketika dirinya berusia 9 tahun, kehadiran adik perempuannya membawa utang yang nyaris tak terbayar. Orang tuanya, yang sehari-hari menjual ikan di pasar, dikenai penalti hampir tiga kali lipat dari penghasilan tahunan mereka.


DUA ANAK bermain lego di Logoland Shanghai Resort, 5 Juli 2025. Tiongkok terus mendorong warganya untuk mempertahankan populasi agar tidak turun drastis.-AGENCE FRANCE-PRESSE-

Dikutip oleh CNN, 6 Agustus 2025, Li mengatakan, “Kami hampir tidak bisa bertahan hidup.”

Tak ada pilihan lain bagi Li kecil selain tumbuh dewasa sebelum waktunya. Di usia yang seharusnya diisi dengan bermain dan liburan sekolah, dia justru sibuk mengurus rumah dan membantu orang tuanya berjualan ikan di pasar.

Setelah masa kecilnya dihabiskan membantu orang tua berjualan ikan demi menebus denda, ia yang kini berusia 25 tahun pun mantap memilih hidup tanpa anak. Keputusan Li bukanlah hal yang asing. Nyatanya, semakin banyak anak muda yang mengambil sikap serupa.

“Sebenarnya, ini bukan hanya soal biaya. Banyak orang muda merasa pesimistis tentang masa depan, seperti ketidakpastian pekerjaan, orang tua yang menua, dan tekanan sosial,” tutur seorang demografer dan profesor sosiologi di Universitas Yale Emma Zang.

Kategori :