Tiongkok yang Berjuang Melawan Penurunan Populasi: Hidup Kian Mahal, Pilih Tanpa Anak

Sabtu 09-08-2025,15:13 WIB
Reporter : Joylin Septiani
Editor : Noor Arief Prasetyo

BACA JUGA:Busana Qipao Gaya Shanghai Kembali Bersinar Berkat Desainer Muda Tiongkok

BACA JUGA:Tiongkok Ajak Dunia Waspada AI

Kebijakan satu anak akhirnya dicabut pada tahun 2016. Larangan berubah menjadi kelonggaran. Warga pun diizinkan memiliki dua anak. Lima tahun berselang, pada 2021, pemerintah bahkan menyarankan agar keluarga mempertimbangkan untuk memiliki tiga anak.

Dulu, menghukum kelahiran dengan denda. Kini, mereka menawarkan insentif agar warganya mau punya anak. Selama beberapa tahun terakhir, mereka mencoba banyak solusi. Mulai dari keringanan pajak, fasilitas perumahan, bantuan uang tunai, hingga perpanjangan cuti melahirkan.

Dan, mulai minggu kemarin, subsidi tahunan sebesar 3.600 yuan (sekitar Rp 8,1 juta) untuk setiap anak di bawah usia tiga tahun resmi menjadi senjata baru dalam kampanye pro-kelahiran.

“Ini bukan lagi sekadar eksperimen lokal. Ini merupakan sinyal bahwa pemerintah memandang krisis tingkat kelahiran sebagai masalah yang mendesak dan nasional,” kata Zang. “Pesan ini jelas: kami tidak hanya menyuruh Anda untuk memiliki anak, tetapi kami akhirnya menyediakan dana untuk itu.”


KELUARGA DAN ANAK-ANAK menikmati wahana kereta api yang mengelilingi salah satu mal di Beijing, 1 Juli 2025.-ADEK BERRY-AFP-

Sayangnya, bagi generasi seperti Li, tawaran itu terasa seperti plester kecil untuk luka yang dalam. Subsidi itu sekilas mungkin terlihat banyak, tapi nyatanya tak sebanding dengan jumlah yang dibutuhkan dalam jangka waktu panjang.

Biaya untuk membesarkan seorang anak hingga usia 18 tahun di Tiongkok diperkirakan mencapai 538 ribu yuan, atau sekitar Rp 1,2 miliar. Angka itu enam kali lipat lebih besar dari PDB per kapita negara tersebut.

Meski biaya di kota-kota besar seperti Shanghai dan Beijing jauh lebih tinggi, secara relatif, Tiongkok tetap menjadi salah satu negara termahal di dunia untuk memiliki anak. Hal itu terungkap dalam studi terbaru dari YuWa Population Research Institute yang berbasis di Beijing.

Ambil saja contoh dari Gao. Ia tumbuh besar di pegunungan Guizhou, salah satu wilayah paling terpencil dan miskin di barat daya Tiongkok, sekaligus salah satu provinsi yang mendapat pengecualian dari kebijakan satu anak.

BACA JUGA:Bedah Buku 75 Tahun Indonesia–Tiongkok, KOPRI: Perempuan Harus Paham Geopolitik

BACA JUGA:Angkat Pengaruh Konfusianisme dalam Kebijakan Luar Negeri Tiongkok, Probo Raih Gelar Doktor di Usia 30 Tahun

Meski latar belakangnya berbeda dari Li, Gao pun akhirnya mengambil keputusan yang sama. Ia mengungkapkan ketidaktertarikannya untuk menikah. Apalagi punya anak.

“Mengetahui bahwa saya tidak dapat memberikan lingkungan yang baik untuk pendidikan dan kehidupan seorang anak, memilih untuk tidak punya anak juga merupakan tindakan kebaikan,” jelasnya.

Pandangan seperti itu kian umum. Dengan dunia yang makin tak ramah, punya anak sekarang rasanya seperti melempar mereka ke medan perang tanpa perlindungan. (*)

Kategori :