Disrupsi Dinamika Interaksi Sosial dalam Era Akal Imitasi Generatif

Rabu 13-08-2025,14:24 WIB
Oleh: Wahidah Mevi Nihayah*

Meski AI dapat menunjukkan respons emosional terhadap perintah-perintah tertentu, ekspresi tersebut merupakan hasil dari algoritma, bukan refleksi dari perasaan yang sesungguhnya. 

Pada akhirnya, AI tetaplah ”akal” imitasi, tidak seperti manusia yang turut dianugerahi perasaan untuk memproses dunia. Karena itu, manusia tetap perlu berinteraksi dengan manusia lainnya agar bisa membangun empati dan belajar meregulasi emosi.

Apabila dibiarkan, fenomena itu akan melahirkan generasi yang hanya bisa bertukar kata-kata, tetapi kesulitan dalam membangun koneksi yang autentik dan memaknai hubungan sosialnya. Apakah itu masa depan peradaban yang kita inginkan?

MENINJAU KEBIJAKAN TERKAIT AI 

Tahun 2021 UNESCO mengeluarkan recommendation on the ethics of artificial intelligence, yakni serangkaian pedoman untuk memastikan pengembangan AI yang berpusat pada martabat dan hak-hak asasi manusia. 

Rekomendasi itu mengandung beberapa poin penting. Di antaranya, HAM sebagai fondasi, keadilan dan inklusivitas, transparansi sistem, keamanan data, literasi AI, serta tata kelola yang adaptif dan kolaboratif. 

Sebanyak 193 negara telah menyepakati pedoman itu, termasuk Indonesia. Meski begitu, aplikasinya pada skala nasional tentu bervariasi.

Di Indonesia sendiri, pada pertengahan 2020 lalu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menerbitkan dokumen Strategi Nasional untuk Kecerdasan Artifisial (STRANAS KA) Tahun 2020–2045. 

Saat ini Kementerian Komunikasi dan Digital bersama elemen praktisi AI seperti KORIKA sedang menyusun buku putih untuk peta jalan akal imitasi Indonesia. Dokumen itu merupakan arah kebijakan nasional yang memuat area fokus dan bidang prioritas teknologi AI. 

Dokumen tersebut menjadi pedoman bagi kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan di bidang teknologi AI. Itu menunjukkan bahwa pemerintah sudah menyadari pentingnya peran AI untuk mendukung pembangunan nasional.

Dalam kaitannya dengan literasi teknologi, pemerintah telah mengintegrasikan pembelajaran informatika ke dalam kurikulum pendidikan sejak 2019. Pada jenjang SMP dan SMA/SMK, informatika telah menjadi mata pelajaran wajib. 

Sementara itu, di jenjang SD, informatika diajarkan dengan pendekatan tematik dan terintegrasi dengan mata pelajaran lain seperti IPAS (ilmu pengetahuan alam dan sosial).

Kendati telah menunjukkan progres yang patut diapresiasi, Indonesia masih memiliki banyak PR. Berdasar Global AI Index 2024 oleh Tortoise Media, Indonesia menempati peringkat ke-49 dari 83 negara. 

Indonesia masih perlu mengejar ketertinggalan dalam pemerataan infrastruktur, inovasi, pengembangan keterampilan, hingga strategi pemerintah dalam mengatur AI.

PR utama Indonesia saat ini adalah menetapkan regulasi yang mengikat. Belum adanya regulasi yang mengikat menyebabkan pengembangan dan pemanfaatan AI di Indonesia berlangsung tanpa batasan hukum yang jelas. 

Padahal, hasil analisis aitools.xyz mencatat bahwa total kunjungan ke situs AI di Indonesia masuk posisi tertinggi ke-8 di dunia dengan 304,4 juta akses sepanjang tahun 2024. 

Kategori :